Kaldera Mawaddah
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung
Krisis mata uang yang melanda negara-negara Asia termasuk Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 telah menimbulkan kesulitan besar terhadap perekonomian dan perdagangan nasional. Kemampuan dunia usaha untuk memperluas operasional bisnisnya sangat terganggu, bahkan menjaga keberlangsungan usaha pun tidaklah mudah. Situasi ini telah menimbulkan serangkaian permasalahan yang jika tidak segera diselesaikan akan berdampak lebih luas, termasuk hilangnya pekerjaan dan permasalahan sosial lainnya.
Oleh karena itu, produk hukum nasional yang bertanggung jawab menjamin keamanan, ketertiban, penegakan hukum, dan perlindungan hukum dengan mengedepankan keadilan dan kebenaran harus mampu mendukung pembangunan dan pertumbuhan perekonomian nasional, serta melindungi dan mendukung hasil pembangunan nasional.
Salah satu undang-undang yang diperlukan untuk menunjang pembangunan perekonomian negara adalah undang-undang mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang yang semula diatur dalam peraturan kepailitan.
Pailit atau Kebangkrutan adalah suatu keadaan dimana debitur berhenti membayar utangnya karena ketidakmampuan atau kemauannya untuk membayar kembali kreditur. Apabila dinyatakan pailit, maka debitur dengan sendirinya kehilangan hak untuk mengelola hartanya dan harta itu disita seluruhnya. Debitur dapat dinyatakan pailit apabila terdapat putusan pengadilan niaga yang menyebabkan dia kehilangan penguasaan dan pengurusan secara hukum atas harta pailit yang termasuk dalam harta pailit dan seluruh harta kekayaan lainnya, dengan sendirinya harta itu akan disita untuk umum. Untuk kepentingan dunia usaha dalam menyelesaikan masalah utang-piutang seperti pailit secara adil, cepat, terbuka, dan efektif sangat diperlukan perangkat hukum yang mendukungnya.
Pada tanggal 22 April 1998 berdasarkan pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang kepailitan, yang kemudian ditetapkan menjadi undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998.
Sebagaimana diketahui bahwa proses kepailitan adalah suatu proses pelaksanaan ketentuan pasal 1131 dan pasal 1132 KUH Perdata yang bertujuan untuk membagi harta kekayaan debitur secara adil agar hak kreditur didahului.
Perlu juga kita ketahui bahwa dalam sejarahnya sebelum kemerdekaan peraturan mengenai kepailitan tidak diperuntukkan kepada golongan pribumi, peraturan kepailitan tersebut hanya berlaku bagi golongan Eropa dan golongan Asing. Hal ini sesuai dengan staatsblaad 1924 No. 556 dan staatsblaad 1917 No. 129.
Perubahan atas undang-undang kepailitan (faillisement-verordening staatsblad 1905:217 juncto staatsblad 1906:348) ditetapkan dalam bentuk Perpu pada tanggal 22 April 1998 yaitu Perpu No. 1 Tahun 1998 tentang perubahan atas undang-undang kepailitan. Perpu tersebut kemudian menjadi Undang- Undang No. 4 Tahun 1998. Pada saat itu, hingga UU Kepailitan diamandemenkan dan berlakunya isu-isu terkait kepailitan, topik ini jarang diangkat bahkan terasa sangat aneh.
Isu kepailitan masih belum populer karena selama ini banyak pihak yang merasa tidak puas dengan pelaksanaan kepailitan. Banyak kebangkrutan yang tidak terselesaikan, waktu persidangan yang lama, dan kurangnya kepastian hukum adalah beberapa dari banyak alasan yang ada.
Secara psikologis hal ini dapat diterima, karena pernyataan pailit berarti kehilangan nilai utangnya karena harta kekayaan debitur pailit tidak cukup untuk menutupi seluruh kewajiban kepada pemilik utang. Alhasil, jika menyangkut kebangkrutan, tidak semua kreditor setuju, bahkan ada yang menentang keras. Banyaknya kepailitan yang belum terselesaikan, lamanya waktu persidangan, dan kurang jelasnya kepastian hukum menjadi beberapa dari sekian banyak penyebab keberadaannya.
Namun dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 yang mereformasi Undang-Undang Kepailitan yang lama (UU NO 4 Tahun 1998), diharapkan dapat memenuhi persyaratan hukum secara efektif, adil, efisien, cepat, dan aman, lengkap, modern dan tercatat dengan baik.
Dalam Pasal 2 UU Kepailitan, Pasal 37 Tahun 2004, dengan jelas disebutkan bahwa syarat pailitnya suatu perusahaan ialah Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditgih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya.
Dari ketentuan Pasal 2 dapat disimpulkan bahwa faktor suatu perseroan dinyatakan pailit adalah adanya utang-piutang, sekurang-kurangnya salah satu utang itu telah jatuh tempo, dapat dibayar dan dapat diperoleh kembali, debitur dan kreditur.
Ada 2 pihak yang ikut serta dalam proses kepailitan, pihak pertama, yaitu pihak yang mengajukan pailit, antara lain debitur, satu kreditur atau lebih, kejaksaan jika menyangkut kepentingan umum, Bank Indonesia jika debiturnya berupa bank, Badan Pengawasan Pasar Modal jika debiturnya adalah perusahaan efek,Menteri Keuangan dalam hal debitur merupakan perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun, atau badan usaha milik negara yang bergerak di sektor publik.
Pihak selanjutnya adalah debitur pailit, debitur pailit adalah pihak yang mengajukan pailit atau orang yang mengajukan pailit pada pengadilan yang berwenang. Orang yang dapat menjadi debitur dalam keadaan pailit adalah debitur yang mempunyai dua orang kreditor atau lebih dan tidak dapat membayar paling sedikit satu utang yang telah jatuh tempo.
Kemudian Pengadilan yang berwenang memutus perkara pailit harus diajukan ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum debitur misalnya jika debitur telah meninggalkan wilayah NKRI, pengadilan yang berwenang adalah pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum terakhir debitur.
Jika debitur adalah Persero suatu Firma, maka pengadilan yang berwenang adalah pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Firma tersebut. Jika debitur tidak bertempat kedudukan dalam wilayah NKRI tetapi menjalankan profesi atau usahanya dalam wilayah NKRI, maka pengadilan yang berwenang adalah pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum kantor pusat debitur menjalankan profesi atau usahanya di wilayah NKRI. Ketentuan tersebut sejalan dengan ketentuan pasal 118 HIR yang menyatakan bahwa forum pihak yang digugatlah yang berhak memeriksa.
Dari penjelasan singkat di atas upaya hukum yang dapat diambil apabila terjadi perkara kepailitan yang jika dilihat dari peraturan nomor 37 tahun 2004 yang pertama ialah dapat melakukan perlawanan kepailitan yang diajukan kepada pengadilan yang menetapkan putusan perusahaan dinyatakan pailit, selanjutnya dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, apabila terhadap keputusan pengadilan ditingkat pertama tidak dapat diajukan upaya hukum banding tetapi langsung dapat dilakukan upaya kasasi.
Permohonan kasasi diajukan dalam jangka waktu paling lambat 8 hari terhitung sejak tanggal putusan yang dimohonkan kasasi ditetapkan, kemudian didaftarkan melalui panitera pengadilan niaga yang telah menetapkan putusan atas permohonan pernyataan pailit tersebut. Lalu panitera akan mendaftar permohonan kasasi pada tanggal permohonan tersebut diajukan, kemudian kepada pemohon akan diberikan tanda terima tertulis yang ditanda tangani penitera dengan tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan pendaftaran tersebut.
Permohonan kasasi yang diajukan melebihi jangka waktu yang telah ditentukan minimal 8 hari maka dapat berakibat dibatalkan nya putusan kasasi.
Upaya hukum yang terakhir adalah peninjauan kembali oleh Mahkamah Agung terghadap putusan atas permohonan kepailitan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Permohonan peninjauan kembali dapat dilakukan apabila setelah perkara diputus ditemukan bukti baru yang bersifat menentukan yang pada waktu diperiksa di pengadilan sudah ada, tetapi belum ditemukan atau dalam putusan hakim yang bersangkutan terdapat kekeliruan yang nyata.
Dalam pengajuan permohonan peninjauan kembali dengan alasan tersebut, dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 30 hari terhitung sejak tanggal putusan yang dimohonkan peninjauan kembali memperoleh kekuatan yang tetap. Permohonan peninjauan kembali bisa disampaikan kepada panitera pengadilan niaga yang memutus perkara pada tingkat pertama. Panitera yang menerima permohonan PK akan mendaftar permohonan tersebut kepadfa pemohon diberikan tanda terima tertulis yang ditanda tangani panitera dengan tanggal yang sama dengan tnggal permohonan didaftarkan. Selanjutnya pihak termohon dapat mengajukan jawaban terhadap permohonan PK yang diajukan, dalam waktu 10 hari terhitung sejak tanggal permohonan didaftarkan dan panitera wajib menyampaikan jawaban tersebut kepada panitera Mahkamah Agung, dalam jangka waktu paling lambat 12 hari terhitung sejak tanggal permohonan didaftarkan.(*)