Nama : Azzahra Farras Suniyyah
Fakultas Hukum, Universitas Bangka Belitung
Perseroan Terabatas (PT) merupakan salah satu bentuk badan usaha berbadan hukum yang menjalankan usaha dengan modal yang terbagi dalam saham-saham. Kemudian PT dikenal dengan keunggulannya dalam tanggung jawab terbatas bagi para pemegang sahamnya, dimana PT memberikan keleluasaan bagi pelaku usaha untuk membangun bisnis tanpa harus mengambil risiko atas seluruh harta pribadinya. Akan tetapi dibalik minimnya risiko dan kemudahan di atas, terdapat satu isu penting yang masih menjadi pekerjaan yakni transparansi modal.
Transaparansi modal dalam sebuah Perseroan Terbatas (PT) adalah salah satu aspek fundamental yang sering kali diabaikan dalam praktik lapangannya, padahal transparansi modal ini berguna untuk menentukan arah dan keberlanjutan sebuah perusahaan. Di indonesia, banyak PT didirikan dengan modal dasar dan modal disetor yang tercantum dalam akta pendirian, tetapi informasi ini seringkali tidak diperbarui secara rutin, tidak terbuka untuk publik bahkan kadang disamarkan dengan melalui berbagai skema kepemilikan
Transaparansi modal bukan hanya semata soal teknis pencatatan akan tetapi hal ini juga memuat tentang kejelasan siapa pemilik sebenarnya dari sebuah Perseroan Terbatas (PT) tersebut, dari mana sumber dana berasal serta seberapa besar pengaruh tiap pemegang saham dalam pengambilan keputusan. Ketika informasi transparansi modal ini jelas, maka kepercayaan publik, mitra bisnis, investor hingga otritas negarapun akan tumbuh. Sedangkan sebaliknya, ketika struktur modal atau transparansi modal disembunyikan atau dibuat rumit, maka terjadinya ruang untuk konflik kepentingan, penghindaran pajak atau bahkan penghindaran pajak, bahkan pencucian uang.
Masalah ketertutupan informasi modal dalam Perseroan Terbatas (PT) tidak hanya terjadi di perusahaan besar saja akan tetapi hal ini juga terjadi dalam perusahaan skala kecil hingga menengah. Banyak pemilik usaha yang tidak sadar bahwa kejelasan modal dapat menjadi alat negosisasi penting di mata investor atau bank. Tidak sedikit pula perusahaan yang menggunakan nama pinjaman untuk menghindari kewajiban hukum tertentu. Praktik-praktik semacam ini mungkin terasa menguntungkan diawal atau dalam jangka pendek, tetapi sangat berisiko dalam kedepannya atau dalam jangka panjang.
Sudah saatnya transparansi modal dijadikan budaya dan kewajiban. Pemerintah perlu mendorong integrasi data melalui sistem digital seperti AHU (Administrasi Hukum Umum) online agar publik, mitra bisnis, dan lembaga keuangan dapat mengakses informasi dasar perusahaan secara mudah dan akurat. Lebih dari itu, regulasi mengenai pemilik manfaat sebenarnya (benefical ownership) harus ditegakkan agar tidak ada lagi pengusaha yang bisa bersembunyi di balik nama lain.
Dalam dunai bisnis yang semakin terbuka dan kompetitif, transparansi seharusnya dipandang sebagai investasi. Apalagi di tengah era keterbukaan dan ekonomi digital, perusahaan yang enggan transparansi hanya akan tertinggal, sebaliknya PT yang jujur soal struktur dan sumber modalnya akan lebih dipercaya, lebih muda berkembang dan lebih tahan terhadap guncangan ancaman. Transaparansi bukan hanya soal membuka semua rahasia akan tetapi hal ini soal memberikan kepastian dan akuntabilitas yang merupakan dua hal yang tak ternilai dalam dunia bisnis yang kompetitif ini. (*)