INTRIK.ID, BANGKA TENGAH — Kabupaten Bangka Tengah (Bateng) masih belum bisa lepas dari sektor pertambangan dalam penggerak ekonomi masyarakatnya.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan, Perencanaan, Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bappeda) Bateng, Joko Triadhi mengungkapkan bahwa saat ini sektor pertanian di Bateng belum bisa menjadi basis unggulan.
Ia mengatakan, sektor pertanian menjadi salah satu prioritas utama pembangunan di Bateng yang masuk kategori ekonomi kerakyatan yang terintegrasi secara holistik melalui kerjasama seluruh Organisasi Perangkat Daerah (OPD).
Adapun peningkatan ekonomi kerakyatan dilakukan dengan berbagai macam upaya seperti pemberian sarana dan prasarana produksi (sarprodi) pertanian, bantuan modal usaha dan lain sebagainya.
Untuk itu, Bappeda Bateng menginisiasi program tematik holistik agar kegiatan tersebut terstruktur.
Diakuinya, hal itu dilakukan bukan hanya untuk peningkatan ekonomi semata, melainkan juga untuk menyelesaikan berbagai permasalahan kemiskinan, pengangguran dan lain-lain.
Menurutnya, sektor pertanian yang saat ini digadang-gadang selama ini belum bisa dikatakan sepenuhnya menjadi basis fundamental dikarenakan angka Location Quotient (LQ) yang masih berada di bawah angka satu.
“Jadi pertanian yang selama ini kita unggulkan, berdasarkan analisis LQ, angkanya masih sekitar 0,7. Sedangkan kalau angkanya diatas satu, maka baru bisa dikatakan sebagai sektor basis,” ungkap Joko kepada intrik.id Rabu (8/6/2022).
Ia menjelaskan di Kabupaten Bangka Tengah sendiri, baru sektor pertambangan dan perdagangan yang angka LQ-nya di atas angka satu dan masuk dalam kategori sektor unggul.
“Perdagangan ini hubungannya balik-balik ke pertambangan juga, seperti jual beli hasil tambang dan alat-alat transportasi tambang itu sendiri,” jelasnya.
Kata dia, ada beberapa hal yang kedepannya harus menjadi atensi banyak pihak sehingga pertanian dapat benar-benar menjadi sektor unggulan di Kabupaten Bangka Tengah.
Salah satunya adalah merubah kultur SDM petani yang perlahan-lahan harus mulai dibenahi. Misalnya, ada banyak kelompok tani belum cukup mandiri dan masih mengandalkan bantuan pemerintah.
“Dan kebanyakan dari mereka (kelompok tani-red) setelah mendapatkan bantuan baik itu sarpras, bibit dan lain sebagainya hanya putus di tengah jalan dan tidak berkelanjutan,” ungkapnya.
Lanjut dia, ketika suatu kelompok tani mendapatkan bantuan tersebut dan kemudian panen, maka idealnya hasil panen tersebut bisa dikelola lagi sehingga pertaniannya tetap bisa berjalan dengan cara membeli bibit dan pupuk kembali.
“Hal itulah yang kemudian harus diidentifikasi apakah karena memang modal pembelian bibitnya yang mahal atau memang hasil jualnya yang tidak sepadan dengan biaya produksi,” pungkasnya.
Dengan begitu, dirinya juga mengimbau agar kedepannya kelompok-kelompok tani yang dibantu sarpras, bibit, pupuk dan lain sebagainya adalah kelompok yang benar-benar komitmen dan punya kemandirian untuk memajukan pertaniannya.
Laporan wartawan intrik.id/Erwin