Scroll untuk baca artikel
Bangka Tengah

Tokoh Adat Sesalkan Penangkapan Tiga Warga Tanjung Berikat

×

Tokoh Adat Sesalkan Penangkapan Tiga Warga Tanjung Berikat

Sebarkan artikel ini

INTRIK.ID, BANGKA TENGAH – Tokoh Adat Tanjung Berikat, Rojali sesalkan penangkapan tiga warga oleh Polres Bangka Tengah lantaran mengambil barangnya sendiri meskipun berada di rumah orang lain.

Ia menilai permasalahan itu seharusnya tidak sampai ke tanah hukum karena sesuai kesepakatan adat pemilik modal boleh mengambil barang jika nelayan tak melaut untuk menutupi hutang.

“Jika dari kasus kemarin, harusnya tiga orang itu tidak salah dan sesuai hukum adat yang berasal kekeluargaan ya sah-sah saja barangnya diambil atau diamankan mengingat nelayan (pelapor) tak lagi melaut. Kan memang hutangnya belum lunas,” ungkapnya, Minggu (15/12/2024).

Rojali mengatakan hutang piutang berupa barang itu sudah ada sejak kelompok nelayan di Tanjung Berikat ini terbangun dimana memang pemodal menyiapkan kebutuhan nelayan.

“Hutang piutang dengan asas kekeluargaan, dimana pemodal menyiapkan kebutuhan nelayan, dan nelayan menjual hasil tangkapan ke pemodal. Itu saja sebenarnya,” ujarnya.

BPD Batu Beriga, Andro mengatakan dalam hal ini keperluan nelayan didanai oleh pemodal diawal namun dengan catatan peralatan yang didanai itu bisa diambil lagi jika tak mampu membayarnya.

“Jadi kesepakatannya asas kekeluargaan dimana kebutuhan nelayan dipenuhi oleh bos (pemodal). Dari alat tangkap dan logistik nelayan tanpa bunga sama sekali. Namun, sampai alat tersebut lunas masih milik pemodal atau bos,” jelasnya kepada intrik.id.

Ia melanjutkan, bahwa sistem pembayaran tidak ditentukan setiap bulan. Namun pembayaran dilakukan ketika nelayan mendapatkan tangkapan saat melaut dan dipotong sekitar Rp20-50 ribu dari hasil lautnya.

“Pembayarannya dilakukan saat nelayan melaut dan dapat tangkapan bang. Kalau gak dapat yah gak usah bayar. Kalau banyak dapat ikan atau hasil laut baru dipotong. Kalau memang banyak bisa dipotong 100 ribu, jadi tergantung hasil tangkapan. Dan tak ada bunga dan tak ada batas waktu pembayaran, ” ucap Andro.

Ia mengungkapkan, dalam dalam kebiasaan masyarakat bahwa semua modal yang dikeluarkan oleh bos belum jadi hak milik nelayan jika hutangnya belum lunas. Namun hutang tersebut tanpa ada tempo selagi nelayan masih mau membayar.

“Kalau pembayaran gak ada tempo, gak patokan. Terus juga ingat alat tetep punya pemodal atau bos. Kalau nelayannya mau berenti melaut itupun gak di tuntut lunas hutang. Paling hanya diambil alat laut saja, ” tegasnya.

Di tempat yang sama, Syahrial selaku nelayan mengaku jika pemodal masih berhak menarik barang yang dimodali jika nelayan sudah tak lagi melaut atau menjual hasil tangkapan ke selain pemodal.

“Jadi memang barang yang dimodali ke kami itu masih milik bos selagi belum lunas. Apalagi, kalau kami tak melaut lagi dan kami menjual hasil laut ke orang lain maka bos bisa menarik barang yang dimodali dan hutang akan dihitung sesuai hutang awal, ” jelasnya.

Ia mengungkapkan, meminjam kepada bos lebih manusiawi karena tak ada bunga, tempo pembayaran serta angsuran yang ditetapkan ketimbang meminjam di Bank.

“Kalau minjam sama bos ini, kami gak perlu jaminan, gak perlu bunga, tempo dan angsuran. Tinggal melaut saja dan dibayar kalau ada hasil tangkapan yang sesuai dan menutupi kebutuhan keluarga. Kalau gak sesuai tangkapan gak dipotong, ” tegasnya.

“Ya selagi kami melaut maka hutangnya bisa dicicil dan bos pun bisa pengertian karena sesama nelayan juga. Karena paham bahwa melaut ada musimnya, ” tutupnya.

 

Ikuti berita INTRIK.ID di Google News

Home
Hot
Redaksi
Cari
Ke Atas