Scroll untuk baca artikel
Opini

Identitas yang Dinamis dan Resistensi Ala Homi K. Bhabha

774
×

Identitas yang Dinamis dan Resistensi Ala Homi K. Bhabha

Sebarkan artikel ini
20240228 131413
Izcha Pricispa

Oleh: Izcha Pricispa

Mahasiswa Sosiologi Universitas Bangka Belitung

 

Kita suka berfikir untuk memaknai identitas hanya dengan sebuah nama atau suatu bentuk totalitas terhadap identitas itu sendiri, misalnya seperti yang tertera pada KTP. Tubuh kita seolah-olah diidentifikasikan dan pada akhirnya menjadi suatu kemutlakan yang tidak dapat berubah. Apakah realitas terbentuknya identias demikian? Dengan meminjam pemikiran Homi K Bhabha tentang teori identitasnya, penulis akan memberikan perspektif terkait dengan bagaimana identitas masyarakat terbentuk secara dinamis.

Homi K. Bhaba merupakan seorang ahli teori sastra dan sejarawan. Bhaba terkenal dengan kajiannya terkait dengan poskolonialisme. Bhaba merupakan seorang Derridean sehingga kajiannya dipengaruhi oleh para pemikir strukturalis seperti Jecques Derrida dan Michael Foucault. Kajian postkolonial bersifat dekonstruktif yang dalam hal ini, pemikirannya akan melampaui pemikiran mainstream dan reguler. Poskolonialisme sendiri menempatkan dekonstruksi sebagai kritikan dalam pandangan kolonialisme dan pendekatan ini akan membalikkan hierarki yang ada supaya dapat membangun serta menggantikan kembali apa yang telah tertulis (Sarup, 2004)

Terdapat dua konsep familiar dari Homi K. Bhabal yaitu Mimikri dan Hibriditas. Kedua konsep ini sangat berkaitan dengan identitas. Menurut Bhaba penafsiran dan definisi identitas itu bukanlah bersifat Tunggal. Pemaknaan identitas yang bersifat tunggal itu bagi Bhabha merupakan hal yang keliru. Menurutnya, identitas itu bersifat dinamis, oleh karena itu identitas bukanlah sebuah hasil melainkan suatu proses.

Penulis akan menjelaskan bagaimana identitas itu sebetulnya dinamis (proses dibentuk atau pembentukannya), dan bagaimana identitas itu sebagai wacana yang ideologis dan memuat kepentingan. Pembahasannya terkonsentrasi dengan konsep Mimikri dan Hibriditas Homi K. Bhabha yang sebelumnya sudah disinggung.

Mimikri

Konsep mimikri ini mempunyai arti meniru. Namun demikian mimikri yang dimaksudkan dalam teori postkolonialisme Bhabha mempunyai arti mencemooh/mengolokk-olok. Hal inilah yang kemudian dapat meresahkan kekuasaan kolonial dan bisa diibaratkan seperti pedang bermata dua bagi penjajah. Dulu, pada masa penjajahan Belanda, hal yang bisa dilakukan oleh kita sebagai masyarakat yang mereka anggap primitif dan tertinggal yaitu yang paling utama adalah menirukan gaya hidup mereka (orang eropa). Menurut Heater Sutherland dan Ahmad Adam peniruan gaya tersebut merupakan manifestasi dari masyarakat yang terjajah yang kemudian mencapai kemajuan, menyesuaikan diri seiring perkembangan zaman serta memposisikan diri setara dengan bangsa penjajah (Faruk, 2001).

Baca Juga:  Realita Subsidi Minyak Goreng Oleh Pemerintah

Mimikri merupakan suatu proses kultural yang karenanya tercipta peluang berlangsungnya agensi dari subjek kolonial yang nantinya akan menunjukkan subjektivitas yang menyerupai penjajah, namun tidak sepenuhnya sama (Bhaba, 1984). Penyebab terjadinya mimikri ini adalah karena adanya hubungan yang ambivalen antara penjajah dengan terjajah. Ambivalen ini sendiri tercipta karena adanya kecintaan serta kebencian terkait suatu hal secara bersamaan.

Sederhananya, ketika kita berfikir kita orang Bangka Belitung kemudian kita berfikir bahwasannya kita ini masyarakat yang ramah, tamah, sopan, santun, atau murah senyum. Di sini kita selalu mencoba untuk mendifinisikan diri kita dan percaya bahwa yang ada pada diri kita itu murni dari diri kita sendiri. Padahal proses identifikasi tersebut merupakan hasil dari kontsruksi yang dinamis. Jika kita kaitkan pada masa kolonial Belanda, yang pada saat itu orang-orang eropa menganggap mereka paling keren dan modern (Superior) sehingga mereka menganggap kita sebagai orang yang primitive dan tertinggal (Inferior). Jadi, terdapat satu cara untuk kita lepas dari definisi dan penafsiran yang telah diciptakan oleh mereka. Caranya yaitu dengan mimikri. Mimikri itu memang meniru akan tetapi tidak sama persis. Jadi ketika kita meniru mereka, secara tidak langsung kita telah menentang dan menghancurkan definisi atau penafsiran yang telah mereka bangun terhadap kita.

Hibriditas

Hibriditas yang dimaksudkan dalam teori postkolonialisme adalah semua cara yang dimana kosakata ini dihancurkan dan ditentang. Bhaba (1994) menyatakan bahwasannya hubungan antara penjajah dengan terjajah itu bukan suatu oposisi antagonistik yang dimana selalu bertentangan melainkan hubungan itu akan lebih kompleks. Hibriditas dapat menjadi perspektif baru untuk memberikan ulasan kembali konsep identitas yang berkaitan dengan kondisi yang diskriminatif.

Baca Juga:  Pentingnya Organisasi Bagi Mahasiswa

Penulis menganalogikan konsep mimikri dan hibriditas yaitu dengan, pada saat mereka menganggap pakaian kita tidak modern maka kita bisa mengahancurkan anggapan mereka dengan mengkombinasikan pakaian kita dengan pakaian mereka. Semisal mereka identik dengan memakai jas maka kita bisa mengkombinasikan jas tersebut dengan kain cual. Mungkin terkesan meniru akan tetapi realitas nya kita masih mempertahankan kain cual yang dalam artinya kita masih mempertahankan kebudayaan kita, namun dengan cara mencampurkan atau mengkombinasikannya. Oleh karena itu, dalam konteks ini pencampuran budaya tersebut bebas dari kekuasaan kolonial dan juga memperlihatkan konstruksi budaya yang serupa, akan tetapi tidak sama dengan asalnya (meniru tetapi tidak sama). Bahasa sederhananya adalah mengkombinasikan antara yang lokal dengan global.

Dengan demikian dalam hal ini terdapat proses dekonstruksi identitas. Mereka tidak bisa mendefinisikan atau memberikan tafsiran terhadap kita. Oleh karena itu, kita sudah mengacaukan atau mengahancurkan definisi atau tafsiran mereka terhadap kita. Inilah salah satu contoh bentuk dari hibriditas ala Homi K Bhabha.

Home
Hot
Redaksi
Cari
Ke Atas