JAKARTA. INTRIK.ID – Putri Bung Karno, Rachmawati Soekarnoputri, pagi tadi (Sabtu, 3/7) meninggal dunia, dikenal sebagai sosok memiliki perhatian dan kepedulian besar pada sejumlah isu internasional.
Ia kerap menyuarakan protes terhadap praktik neokolonialisme dan neoimperialisme masih terjadi di berbagai belahan dunia seperti di Palestina, Afghanistan, Irak, Iran, Kuba, Venezuela, juga Korea Utara.
Rachmawati merupakan salah seorang tokoh reunifikasi Semenanjung Korea. Di organisasi Komite Regional Asia Pasifik untuk Reunifikasi Damai Korea (APRCPRK) bersama mantan Perdana Menteri Nepal, Madhav Kumar Nepal, dan Walikota Sydney, Peter Woods, putri Bung Karno ini duduk sebagai Ketua Bersama.
Demikian dikatakan Direktur Informasi Publik APRCPRK, Teguh Santosa, dalam keterangan beberapa saat lalu (Sabtu, 3/7).
Kedekatan Rachmawati dengan isu reunifikasi Korea berlangsung sejak lama. Pada tahun 2001 Rachma berkunjung ke Pyongyang. Kunjungan itu kembali menghangatkan hubungan kedua negara yang sempat redup di era Orde Baru.
Sepulang dari kunjungan tersebut, Rachma mendirikan dan memimpin Perhimpunan Persahabatan Indonesia Korea Utara (PPIK) yang berperan untuk memperkenalkan Korea Utara dan mempromosikan perdamaian di Semenanjung Korea dan kawasan Asia Timur.
Posisi Ketua PPIK ditanggalkan Rachma di tahun 2007 saat ia ditunjuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden.
Sejak itu, PPIK dipimpin duet Ketua Ristiyanto dan Sekjen Teguh Santosa, dan kini merupakan salah satu organisasi yang paling aktif dalam mempromosikan perdamaian dan reunifikasi Korea.
“Ibu Rachma yang ikut mendorong agar skala kampanye reunifikasi damai Semenanjung Korea diperlebar hingga ke berbagai kawasan di dunia,” ujar Teguh Santosa yang pernah menjabat sebagai Wakil Rektor UBK yang didirikan Rachma.
Teguh dikenal sebagai wartawan dan akademisi yang kerap berkunjung ke Korea Utara. Dia mengatakan, dua di antara kunjungan-kunjungan itu sebagai utusan khusus Rachmawati. Pertama di tahun 2003, Teguh mewakili Rachma yang ketika itu berhalangan memenuhi undangan pemerintah Korea Utara karena sedang mempersiapkan Partai Pelopor yang didirikannya untuk ikut dalam Pemilu 2004.
Lalu di tahun 2015, Teguh kembali menjadi utusan khusus Rachma ke Pyongyang untuk menyerahkan Star of Sukarno Award yang diberikan YPS kepada pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un.
Tropi dan sertifikat Star of Sukarno itu diterima Presiden Presidium Majelis Tertinggi Rakyat Korea, Kim Yong Nam, dalam sebuah upacara resmi di Istana.
Teguh mengatakan, kabar kepergian Rachma sangat mengejutkan sahabat-sahabat Rachma di luar negeri maupun perwakilan negara sahabat di Jakarta.
Sejumlah ucapan duka yang diterimanya untuk disampaikan ke pihak keluarga antara lain berasal dari Dutabesar Rusia, Lyudmila Vorobieva, lalu dari Dubes Kuba Tania Velazquez, Dubes Iran Mohammad Azad, Dubes Radames Gomez, dan Dubes Korea Utara An Kwang Il.
“I have bitter feeling on demise of Ibu Rachma. I reported the sad news to my country, and will follow the procedure for the ceremony,” tulis Dubes An Kwang Il dalam pesannya kepada Teguh.
“I am very sorry to know that Ibu Rachmawati passed away. Please accpet my most heartfelt condolences,” tulis Dubes Lyudmila Vorobieva dalam pesannya.
“This bad news fills us with sadness,” tulis Dubes Radames Gomez.
Sejarawan Greg Poulgrain sedang berada di Brisbane, Australia, juga telah menyampaikan ucapan duka.
Dengan Greg Poulgrain, Rachma merancang pembuatan film dokumenter mengeai Bung Karno. Rencana itu terhenti karena pandemi Covid-19 merebak sejak akhir 2019.
“There is nobody but you to whom I can pass on my concolences. I am so sorry to hear that Ibu Rachma passed away. Wow, a real lady she was. What a life!” tulis Greg dalam pesannya.
Rachmawati menghembuskan nafas terakhir dalam perawatan di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta Pusat, sekitar pukul 6.15 WIB, Sabtu (3/7). Putri dari pasangan Sukarno dan Fatmawati ini meninggal di usia 70 tahun. Rachma akan akan dimakamkan di Blok AA 1 Blad 7 TPU Karet Bivak, Jakarta, Sabtu siang. []