Scroll untuk baca artikel
Opini

Membangun Kesadaran Konsumen dan Tanggung Jawab Pelaku Usaha Tentang Kosmetik Berbahaya

338
×

Membangun Kesadaran Konsumen dan Tanggung Jawab Pelaku Usaha Tentang Kosmetik Berbahaya

Sebarkan artikel ini
IMG 20230120 111346
Foto: Miftahul Jannah

Miftahul Jannah

Mahasiswa Fakultas Hukum UBB

 

Kosmetik merupakan salah satu dari sekian kebutuhan yang paling mendasar bagi setiap orang khususnya kaum perempuan. Di era modernisasi ini kosmetik suatu hal yang dianggap penting guna menunjang penampilan agar terlihat lebih menarik. Hal tersebut merupakan suatu hal yang wajar dan tidak mengherankan lagi bagi kaum perempuan yang rela menghabiskan uang hanya untuk melakukan perawatan kecantikan dengan pergi ke salon, klinik-klinik kecantikan ataupun dengan membeli berbagai macam kosmetik dengan memoleskan wajahnya agar terlihat lebih cantik.

Di era perdagangan bebas saat ini banyak sekali berbagai macam merek kosmetik yang diperdagangkan serta beredar dipasaran baik itu dijual secara langsung maupun melalui platform media perbelanjaan (online). Jenis-jenis kosmetik tersebut meliputi: bedak, cream wajah, concealer, lipstick, lulur, hand and body lotion, serta sunblock, dan sebagainya. Para pelaku usaha akan berlomba-lomba menghasilkan berbagai macam produk kecantikan dengan berbagai macam kegunaan bagi masyarakat untuk menarik konsumen sebanyak-banyaknya tanpa memperdulikan dari bahan-bahan serta zat apa yang mereka gunakan untuk membuat dan menghasilkan produk tersebut, seperti penggunaan merkuri (mercury) dan hydroquinone yang sangat berbahaya bagi kulit manusia dalam jangka panjang. Sepanjang tahun 2023 ini, terhitung dari bulan Januari sampai sekarang BPOM menemukan 1.542 produk kosmetik illegal dengan 13 jenis kosmetik yang mengandung merkuri dan hydroquinone.

Pada umumnya, wanita akan tertarik untuk membeli produk kosmetik dengan harga yang murah dan hasil yang terlihat lebih cepat. Disisi lain produk kosmetik dengan harga yang lebih murah tidak menjamin kualitas yang baik. Tidak sedikit dari produk tersebut menimbulkan efek samping pada kulit yang merugikan dan membahayakan kesehatan konsumen. Wanita yang umumnya miliki tingkat obesesi yang tinggi untuk tampil cantik dengan produk kosmetik dengan harga murah, menimbulkan peluang bagi para pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab untuk memproduksi atau memperdagangkan produk kosmetik yang tidak layak untuk diedarkan dan digunakan bagi masyarakat khususnya kaum perempuan.

Baca Juga:  Memanfaatkan Kekayaan Maritim, Dorong Ekonomi Bangka Belitung

Produk kosmetik bagi seorang perempuan merupakan suatu instrument penunjang penampilan agar terlihat lebih cantik bahkan bagi masyarakat dengan gaya hidupyang semakin kompleks kosmetik akan menjadi kebutuhan pokok. Konsumsi masyarakat terhadap kosmetik cenderung terus meningkat, seiring dengan perubahan gaya hidup masyarakat termasuk pola konsumsinya. Menurut data yang dikeluarkan oleh Nusaresearch Indonesia pada bulan Agustus tahun 2022 dari 2.830 respoden wanita menyatakan menggunakan kosmetik, walaupun 57,3% diantara mereka kadang-kadang menggunakannya. Kemudian alasan yang membuat responden menggunakan kosmetik adalah untuk mempercantik diri (75,1%), untuk meningkatkan kepercayaan diri (66,7%), terkait pekerjaan (34,7%), dan kulit kurang bagus (22,5%).

Sementara itu, disisi lain dengan adanya peningkatan minat konsumen terkait produk kosmetik ini sebagain masyarakat masih minim akan pengetahuan untuk dapat memilih dan menggunakan produk secara tepat, benar, dan aman. Peredaran dan penjualan kosmetik yang tidak memenuhi persyaratan saat ini sangat mengkhawatirkan. Maraknya kosmetik racikan yang beredar yang dilakukan oleh pelaku usaha yang mengandung zar kimia berbahaya seperti merkuri dan hydroquinone yang menjadikan kulit mulus dan putih dalam waktu yang relative singkat.

Dalam Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM) Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan kedua atas Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 22 Tahun 2020 Tentang Persyaratan Teknis Bahan Kosmetika. Di dalam peraturan ini terdapat berberapa jenis BKO yang dilarang untuk digunakan sebagai campuran ataupun bahan pembuatan kosmetik, antara lainpewarna merah K3, pewarna merah K10, asam retinoate, merkuri, hydroquinone, deksametason, dsb.

Hydroquinone merupakan senyawa aktif yang mampu mengendalikan pigmen, yakni berfungsi untuk mengurangi atau menghambat pembentukan melanin kulit. Efek samping penggunaan hydroquinone ini mulai dari iritasi kulit, kulit menjadi merah dan rasa terbakar bahkan dapat menyebabkan kelainan pada ginjal. Sedangkan merkuri merupakan bahan aktif yang berbahaya yang sering ditambahkan pada krim pemutih. Merukri sendiri dapat menyebabkan perubahan warna kulit, yaitu bitnik-bintik hitam pada kulit, alergi, iritasi, serta dapat menyebabkan kelainan pada ginjal, kerusakan permanen pada otak dan gangguan perkembangan janin.

Baca Juga:  Penegakan Etika dan Kode Etik Profesi Hukum

Dalam penggunaan produk kosmetik, konsumen sudah seharusnya memperhatikan legalitas dan juga komposisi bahan yang terkandung di dalam suatu produk kosmetik. Hal itu dapat dilihat dengan cara memperhatikan keterangan yang ada pada label kosmetik tersebut apakah produk kosmetik tersebut memiliki nomor pendaftaran merek di Badan POM, mencantumkan hasil uji dermatologi sehingga aman untuk dipergunakan. Ketidaktahuan konsumen akan informasi efek samping yang ditimbulkan dari kosmetik mengandung bahan berbahaya dapat dijadikan suatu alasan mereka untuk masih tetap menggunakan kosmetik tersebut, karena pada umumnya kebanyakan konsumen saat membeli produk pada saat membeli produk tidak mengetahui atau bahkan belum mengetahui apa itu merkuri dan zat-zat apa yang termasuk dalam merkuri.

Konsumen biasanya tidak meneliti suatu produk sebelum membeli. Hal ini lah yang dapat menjadi salah satu faktor penyebab mengapa produk kosmetik yang mengandung bahan berbahaya seperti merkuri dan haydroquinone masih diminati oleh para wanita. Pada umunya mereka langsung membeli produk kosmetik tanpa pertimbangan terlebih dahulu mengingat produk yang dibeli memberikan efek samping secara langsung.

Dalam hal terdapat konsumen yang menderita kerugian atas produk yang ia konsumsi dari pelaku usaha dan kemudian pelaku usaha menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen, maka dapat melakukan gugatan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen. Bentuk ganti kerugian sebagaimana tertuang dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yaitu: “Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Dalam Pasal 19 ayat (2) dijelaskan bahwa ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa pengembalian uang, atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Baca Juga:  Identitas yang Dinamis dan Resistensi Ala Homi K. Bhabha

Faktor yang menjadi kendala terkait pemenuhan tanggung jawab pelaku usaha terhadap peredaran dan penjualan produk kosmetik yang mengandung bahan berbahaya seperti merkuri dan hydroquinone yaitu:

  1. Kepedulian dan kesedaran pelaku usaha terhadap keamanan masih rendah dalam mengedarkan dan menjual produk kosmetik yang mengandung bahan berbahaya.
  2. Ketidaktahuan masyarakat selaku konsumen terkait apa itu merkuri dan zat-zat apa yang digolongkan kedalam kelompok merkuri karena pada dasarnya sebagian masyarakat hanya melihat khasiat atau manfaat dari produk kosmetik tersebut.
  3. Kurang efeketinya ketentuan dari Pasal 19 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menentukan bahwa pemberian ganti kerugian dalam tenggang wakut 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi sedangkan umumnya efek dari pemakaian kosmetik berbahan dasar bahaya rata-rata dampak yang timbul pasca pemakaian ialah 2 tahun.

Secara normatif perlindungan hukum konsumen penggunaan kosmetik didasarkan pada berbagai peraturan yang berlaku yang melindungi hak-hak dan kepentingan konsumen kosmetik. Peraturan tersebut meiputi, Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), Undang-Undang Kesehatan, Peraturan BPOM dan peraturan-peraturan teknis terkait.

Namun demikian, secara empiris peraturan tersebut belum sepenuhnya dilaksanakan untuk memberikan perlindungan kepada konsumen kosmetik, terutama dari aspek pengawasan atas pelanggaran penggunaan dan peredaran kosmetik yang tidak memenuhi standar keamanan, manfaat, mutu, dan penandaan. Motivasi pelaku usaha dalam melakukan peredaran kosmetik yang mengandung bahan berbahaya untuk mendapatkan keuntungan yang lebih banyak, karena kosmetik yang aman harganya jauh lebih mahal. Selanjutnya pengetahuan konsumen sangat kurang untuk membedakan produk kosmetik berbahaya dengan produk yang tidak berbahaya (kosmetik yanga aman), karena pada umumnya konsumen hanya tertarik dengan harga yang murah dan tidak mengesampingkan efek dari pemakaian produk kosmetik tersebut.

Selain itu juga Lembaga pemerintahan dalam hal ini Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) seharusnya melakukan pengawasan secara lebih efektif terhadap peredaran produk kosmetik yang mengandung bahan berbahaya untuk meminimilasir krugian-kerugian yang diderita oleh masyarakat selaku konsumen.

Home
Hot
Redaksi
Cari
Ke Atas