Oleh: Nurul Aryani (Aktivis Dakwah Islam Kaffah)
Pajak menjadi kata yang ramai diperbincangkan diawal tahun 2025. Tagar pajak dzolim juga menjadi trend di media sosial, di instagram per 15 Januari 2025 sudah muncul lebih dari 26.900 tagar. Ini adalah respon masyarakat dan aktivis yang peduli dengan ummat atas kebijakan penguasa populis yang ingin menaikkan PPN menjadi 12% saat ekonomi masyarakat terpuruk. Seperti jatuh lalu ketimpa tangga itulah yang dialami rakyat.
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan bahwa kebijakan ini sudah menjadi amanat UU yang wajib dijalankan. Kenaikan PPN ini merujuk pada UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Walau pemerintah setelahnya mengatakan PPN hanya berlaku untuk barang mewah, namun tentu akan berefek domino pada yang lainnya.
Para ekonom sepakat bahwa kenaikan pajak pasti akan meningkatkan harga-harga barang karena PPN dikenakan pada konsumen akhir. Para pelaku usaha juga mau tidak mau akan meningkatkan harga jual yang akan berefek pada konsumen atau masyarakat. Terlebih kebijakan ini keluar disaat ekonomi masyarakat sedang lesu dan PHK massal terjadi diberbagai tempat.
Ekonomi Kapitalisme Bertumpu pada Pajak
Pajak sebagai pungutan wajib yang diambil oleh negara kepada rakyat telah menjadi tulang punggung ekonomi kapitalisme. Menurut BPS pada 2023, kontribusi pajak atas pemasukan negara mencapai 80,32%. Sedangkan pada tahun 2024, Pemasukan dari pajak ditargetkan memperoleh Rp2.309,9 triliun, naik Rp191 triliun dari tahun sebelumnya atau 82,4% dari total pendapatan negara. Pemasukan dari pajak sangat jomplang jika dibandingkan dengan pemasukan APBN dari Sumber Daya Alam (SDA) yang diperkirakan mencapai Rp235,6 triliun.
Sayangnya, Indonesia yang kaya raya akan sumber daya alam ketika menerapkan sistem ekonomi kapitalisme justru rakyat harus menelan ludah pahit sebab berbagai pajak yang harus dibebankan. Padahal kekayaan alam yang melimpah mestinya menjadi pemasukan utama negara. Tapi pengelolaan SDA justru banyak diserahkan kepada pihak swasta dan asing. Alhasil kepemilikan umum yang harusnya bisa mensejahterakan rakyat hanya dikuasai segelintir orang.
Dalam sistem ekonomi kapitalisme pajak menjadi sumber pendapatan terbesar negara dan menjadi kebijakan fiskal yang dianggap mampu menstabilkan ekonomi negara. Tak ayal jika pajak terus berusaha dinaikkan dan dikampanyekan oleh penguasa populis. Kebijakan ini kemudian dianggap sebagai jalan terbaik untuk ekonomi rakyat atau negara, bahkan cenderung dipaksakan. Sejatinya, kebijakan menaikkan pajak atau memungut berbagai pajak kepada rakyat adalah kebijakan yang menyengsarakan.
Islam Membangun Negara Tanpa Pajak
Negara dalam islam (khilafah) adalah negara yang dibangun dengan asas Al-Qur’an dan As-sunah. Pos pemasukan negara tidak boleh sembarangan ditetapkan oleh penguasa dan jajarannya, melainkan harus tetap bersumber pada dalil.
Pajak dalam negara islam bukanlah pemasukan tetap yang dipungut secara rutin. Syariah bahkan mengharamkan penguasa mewajibkan pajak. berdasarkan sabda Nabi saw.: “Tidak akan masuk ke dalam surga orang yang menarik cukai (al-maks)” (HR Ahmad. Az-Zain dan al-Hakim menshahihkan riwayat ini).
Al-Maks adalah pajak (dhariibah) yang dipungut dari para pedagang di perbatasan negara. Larangan tersebut mencakup semua pajak.
Dalam kitab Muqaddimah ad-Dustûr telah dijelaskan bahwa pajak dalam negara islam hanya akan dipungut dalam kondisi kas baitul mal/ kas negara kosong atau tidak mencukupi untuk pembiayaan negara. Itupun hanya dipungut kepada warga negara muslim yang mampu/kaya. Tidak semua rakyat dipungut pajak. Jika kas baitul mal cukup maka tidak akan dipungut pajak. Dengan demikian pajak disini hanya diambil dalam kondisi tertentu sebagaimana penjelasan diatas bukan seperti sistem kapitalisme yang memungut pajak setiap saat.
Lantas jika negara islam tidak mewajibkan pajak, darimana pemasukan negara?
Dalam kitab Amwal Fi Daulah al-Khilafah, Syaikh Abdul Qaddim Zallum menjelaskan pos pendapatan dalam APBN Negara Islam terdiri dari 12 kategori: pendapatan dari harta rampasan perang (anfaal, ghaniimah, fai dan khumus); pungutan dari tanah yang berstatus kharaj; pungutan dari non-Muslim yang hidup dalam Negara Islam (jizyah); harta milik umum; harta milik negara; harta yang ditarik dari perdagangan luar negeri (‘usyur); harta yang disita dari pejabat dan pegawai negara karena diperoleh dengan cara haram; harta rikaz dan tambang; harta yang tidak ada pemiliknya; harta orang-orang murtad; pajak; dan zakat. (Al Waie)
Harta milik umum menjadi potensi pendapatan yang sangat besar bagi negara. Indonesia misalnya sebagai negeri muslim memiliki sumber daya alam yang melimpah ruah, mulai dari minyak, emas, nikel, batu bara, timah dll. Jika semua dikelola dengan sistem ekonomi islam yang menjadikan SDA yang berlimpah sebagai kepemilikan umum yang harus dikelola negara untuk rakyat maka tentu Indonesia tidak oerlu repot menarik pajak. Secara ringkas, perhitungannya adalah sebagai berikut,
Minyak. Dengan produksi 223,5 juta barel, harga rata-rata USD97 per barel, nilai tukar Rp15.600/USD, serta gross profit margin 54,1%, maka laba yang diperoleh sebesar Rp183 triliun.
Gas Alam (Natural Gas). Dengan produksi 2,5 miliar MMBTU, harga rata-rata USD6,4 per MMBTU, nilai tukar Rp15.600/USD, serta gross profit margin 54,1%, maka laba yang diperoleh sebesar Rp 136 triliun.
Batu bara. Dengan produksi 687 juta ton, harga rata-rata 345 per ton, dan nilai tukar Rp15.600/USD, serta gross profit margin 57,4%, maka laba yang diperoleh sebesar Rp2.002 triliun.
Emas. Dengan produksi 85 ton, harga rata-rata USD63,5 juta per ton, nilai tukar Rp15.600/USD, serta gross profit margin 34,9%, maka laba yang diperoleh sebesar Rp29 triliun.
Tembaga. Dengan produksi 3,3 juta ton, harga rata-rata USD8.822 per ton, nilai tukar Rp15.600/USD, serta gross profit margin 34,9%, maka laba yang diperoleh sebesar Rp159 triliun.
Nikel. Dengan produksi bijih nikel yang setara dengan 1,8 juta ton nikel, harga rata-rata USD2.583 per ton, nilai tukar Rp15.600/USD, serta gross profit margin 26,6%, maka laba yang diperoleh sebesar Rp189 triliun.
Berdasarkan perhitungan tersebut, maka potensi pendapatan dari harta milik umum (batu bara, minyak mentah, gas, emas, tembaga, dan nikel dapat diperoleh laba sebesar Rp5.510 triliun (dua kali lipat APBN yang 77% pemasukannya dari pajak). Ini jika ditambah dengan hasil hutan dan hasil laut. Pendapatan sebesar ini belum termasuk dari 12 sumber pendapatan lain yang juga memiliki potensi penerimaan yang cukup besar (Lihat: Muis, “Sumber Penerimaan Negara Islam Tanpa Pajak dan Utang,” Al-Waie, Maret 2024)
Perhitungan diatas hanya perhitungan ringkas /kasar dari harta milik umum yang dalam pandangan islam harusnya dikelola oleh negara untuk rakyat. Negara tidak akan kekurangan kas jika ekonominya diatur dengan islam secara kaffah (menyeluruh).
Oleh karena itu, jika ingin membangun negara tanpa bertumpu pada pajak tentulah hanya dengan aturan islam yang datang dari Rabb Semesta Alam. Adakah sistem ekonomi yang lebih baik daripada sistem ekonomi islam yang telah diterapkan 13 abad lamanya? Adakah sejarah mencatat negara yang makmur tanpa pajak kecuali Kekhilafahan islam? Karena itu, sudah seharusnya ummat islam menyegerakan diri untuk mengambil aturan islam sebagai solusi atas berbagai persoalan hidup sehingga keberkahan dan keridhoan Ilahi akan datang pada mereka. Wallahu’alam bishawwab.