Scroll untuk baca artikel
Opini

Keputusan Petani Lada, Benar atau Salah?

×

Keputusan Petani Lada, Benar atau Salah?

Sebarkan artikel ini
20230523 190414
Foto: Athiyyah Juniarti.

Athiyyah Juniarti 

Mahasiswa Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Bangka Belitung

 

Lada ataupun merica ialah salah satu tipe tumbuhan rempah khas Indonesia yang banyak ditanam di Kepulauan Bangka Belitung, dimana daerah ini populer dengan produksi lada putihnya. Lada putih khas wilayah ini sudah bersertifikasi gejala geografis( IG) serta mempunyai tingkatan kepedasan yang besar antara 5%- 7%. Dari 38 provinsi di Indonesia, Bangka Belitung merupakan produsen lada terbesar sepanjang tahun 2020, yakni 33,8 ribu ton. Jumlah tersebut setara dengan 37,6% dari total produksi lada Indonesia pada 2020. Apalagi pada tahun 2014 daerah bangka Belitung mejadi penghasil lada putih terbanyak di dunia dengan mengendalikan 37%- 40% pasar lada global.

Perihal ini membuat para petani Bangka Belitung berbondong- bondong buat menanam lada putih yang dimana hasil dari penjualan lada putih ini jadi sumbangsih yang cukup besar untuk pemasukan wilayah bangka Belitung. Semacam yang tercatat dalam BPS Provinsi Babel tahun 2021, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sanggup memproduksi lada tidak kurang dari 30. 000 ton per tahun. Dimana semenjak tahun 2019, Bangka Belitung sanggup memproduksi lada sampai 33. 457 ton. Pada 2020, produksi lada naik jadi 33. 921 ton.

Namun, kenyataannya pada saat ini produksi lada putih di Bangka Belitung mengalami penurunan akibat berbagai faktor yang dialami para petani lada putih sehingga membuat mereka enggan untuk tetap menanam lada putih dan beralih dalam membudidayakan komoditas pertanian yang lain. Seperti pada kenyataan yang ada dilapangan terdapat penurunan pada produksi lada putih ditahun 2022 dengan rata-rata perhektare produksi panen hanya 1,39 ton dan tidak sebanyak total produksi panen pada tahun-tahun sebelumnya.

Baca Juga:  Belajar dari Kasus Pelecehan Seksual di Gorontalo, Pelaku Harus Dihukum Lebih Berat

Setelah ditelaah keadaan ini disebabkan oleh penyakit tanaman lada, biaya produksi yang kian tinggi, bibit yang mahal, dan perubahan iklim global. Kondisi tersebut telah mempengaruhi produksi lada putih dan harga yang terus menurun sehingga telah ikut pula menurunkan semangat para petani lada.

Penyakit tanaman lada

Organisme Penganggu Tanaman (OPT) merupakan salah satu pembatas bagi produksi dan produktivitas dalam budidaya tanaman lada di Indonesia, khususnya di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Gangguan OPT yang tidak terkendali dapat mengakibatkan kehilangan hasil produksi dan apabila terjadi eksplosi (ledakan) OPT dapat mengakibatkan gagal panen. Salah satu faktor yang menyebabkan turunnya produktivitas tersebut adalah adanya serangan penyakit kuning (Radophalus similis dan Meloidogyne incognita). Penyakit kuning merupakan penyakit endemik setelah penyakit busuk pangkal batang. Akibat serangan OPT tersebut, diperkirakan produksi lada menurun sekitar 30-40% dan mutu menjadi rendah sehingga berdampak pada rendahnya harga lada. Pengendalian yang dapat dilakukan petani lada adalah dengan penambahan aplikasi Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) atau Rhizobakteri Pemacu Tumbuh Tanaman (RPTT) perlu dilakukan dalam pengendalian penyakit kuning pada lada. PGPR merupakan bakteri (bermanfaat) tanah yang mengkolonisasi daerah perakaran tanam dan mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman. Aplikasi PGPR dilakukan 3 sampai 5 hari setelah pemberian Metabolit Sekunder.

Biaya produksi dan bibit yang kian tinggi

Biaya produksi lada putih kian meninggi disebabkan oleh banyaknya permintaan sehingga faktor-faktor produksi seperti pupuk, pestisida dan benih ikut meningkat sedangkan kegiatan budidaya terhambat oleh adanya hama dan penyakit yang menyerang tanaman hasil budidaya yang dimana keadaan ini tidak dapat memenuhi permintaan konsumen akibat kecacatan hasil produksi. Dimana hal ini menjadi salah satu alasan yang membuat petani merasa enggan untuk membudidayakan tanaman lada sebab bukannya mendapat keuntungan tapi malah merasa dirugikan akibat biaya produksi yang begitu tinggi dan tidak sepadan dengan harga jual yang rendah.

Baca Juga:  Berlakunya Pasal 100 KUHP Terkini, Hak Korban Atau Pelaku?

Perubahan iklim global

Usaha memproduksi lada tidak terlepas dari berbagai kendala, salah satunya adalah adanya perubahan iklim yang mempengaruhi kondisi lingkungan tempat tumbuh lada. Tanaman lada yang biasanya ditanam ketika musim hujan yaitu sekitar bulan februari sampai dengan bulan agustus, sekarang ini menjadi bulan mei sampai juli. Hal ini menyebabkan adanya perubahan dalam pengelolaan kebun lada. Selain itu terjadinya perubahan musim kemarau yang lebih panjang menyebabkan tanaman lada menjadi merana dan pertumbuhannya terhambat. Perubahan iklim yang terjadi, sangat mempengaruhi produksi lada. Lada menjadi rentan penyakit dan terhambat pertumbuhannya. Dengan demikian, petani mengalihkan kegiatan budidayanya terhadap komoditas lain yang tidak bergantung terhadap iklim dan cuaca seperti kelapa sawit.

Dari berbagai faktor yang telah dijabarkan diatas, wajar saja jika petani mengambil keputusan untuk mengurangi produksi lada putih dan beralih ke komoditas tanaman lain yang lebih menjanjikan dan menguntungkan. Namun, tidak ada salahnya jika petani tetap berupaya dan konsisten dalam melakukan budidaya lada putih sampai menemukan solusi dan jalan keluar dari kendala-kendala yang dihadapi saat ini, karena seperti yang sudah kita ketahui bahwa lada putih merupakan salah satu ikon pertanian bagi wilayah Kepulauan Bangka Belitung. Hal ini juga menjadi tantangan bagi pemerintah untuk dapat menstabilkan harga jual dari lada putih itu sendiri agar para petani tetap dan dapat kembali melakukan kegiatan budidaya tanaman lada putih seperti sedia kala.

Home
Hot
Redaksi
Cari
Ke Atas