Scroll untuk baca artikel
Opini

Kepastian Hukum dan Keadilan Sebagai Tujuan dari Sistem Peradilan Pidana

191
×

Kepastian Hukum dan Keadilan Sebagai Tujuan dari Sistem Peradilan Pidana

Sebarkan artikel ini
20240606 084442
Lukas Imanuel

Lukas Imanuel

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung

 

Dalam sistem peradilan pidana harus mencerminkan tiga hal yaitu; keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan, agar mampu menciptakan penegakan hukum yang dicita-citakan. Demi menciptakan penegakan hukum yang dicita-citakan tersebut maka disusunlah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mengatur tentang segala hal yang berkaitan dengan kaitanya proses pelaksanaan penegakan hukum baik dari tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan siding pengadilan.

Sering kali, yang menjadi pertanyaan adalah apakah hukum itu dapat memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat nampaknya masih kurang menjadi perhatian, sehingga kasus-kasus seperti kasus Nenek Minah yang hanya mencuri 3 (tiga) buah kakao dan harus divonis 1 (satu) bulan 15 (lima belas) hari dengan masa percobaan selama 3 (tiga) bulan seringkali terulang. Salah satu kasus semacam ini, yang hingga sekarang masih tampak kontroversial di mata masyarakat, adalah kasus mantan Ketua Dewan Perwakilan Daerah, Irman Gusman. Ia dihukum 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan ditambah pencabutan hak politik selama tiga tahun karena dianggap menerima suap dan memperdagangkan pengaruh.

Ulasan ini tidak bermaksud “mengadili” putusan pengadilan karena putusan tersebut sudah berkekuatan hukum tetap. Tulisan ini bertujuan memberikan bahan perenungan tentang penegakan hukum yang belum mampu menghadirkan rasa keadilan dan keseimbangan. Terdapat beberapa catatan mengenai penanganan kasus ini.

Pertama, majelis hakim menerapkan Pasal 12 huruf b sebagai dakwaan primer dengan tuduhan bahwa Irman menerima suap. Padahal Ketua DPD sama sekali tidak memiliki kewenangan dan kewajiban dalam jabatannya yang berhubungan dengan urusan impor dan distribusi gula. Ini bukan kewenangan DPD, tapi Badan Urusan Logistik.

Kedua, peristiwa Irman menerima pemberian dari seorang saudagar gula asal Sumatera Barat sebesar Rp 100.000.000,- itu lebih tepat dikategorikan sebagai peristiwa yang mengarah pada hadiah atau gratifikasi, dan semestinya Irman diberi kebebasan untuk melaporkan pemberian itu kepada Komisi Pemberantasan Korupsi dalam tempo 30 (tiga puluh) hari setelah kejadian. Istilah “gratifikasi” sendiri bukanlah pelanggaran hukum. Gratifikasi yang melanggar ketentuan hukumlah yang bisa dipidana.

Ketiga, KPK sudah menyadap Irman selama berbulan-bulan, tapi sama sekali tidak melakukan upaya pencegahan. Tugas mulia penegak hukum bukan mencari-cari kesalahan, melainkan mencegah terjadinya pelanggaran hukum. Penegak hukum bukanlah “tukang-tukang hukum”, melainkan pengawal ketaatan hukum dan pencipta rasa keadilan.

Keempat, Irman dituduh memperdagangkan pengaruhnya kepada Bulog untuk menguntungkan dirinya dan si pemberi gratifikasi itu. Ini lebih aneh lagi karena tindakan perdagangan pengaruh itu sendiri belum dimasukkan ke Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau undang-undang lain.

Kelima, hakim juga memutus perkara Irman dengan memberikan hukuman tambahan berupa pencabutan hak politiknya selama tiga tahun, padahal ini tidak didakwakan jaksa. Di sini hakim terkesan kurang membaca Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, yang mengharuskan hakim menggali semua fakta dan aspek suatu perkara demi menghadirkan keadilan dalam kepastian hukum.

Keenam, penggunaan istilah operasi tangkap tangan perlu diluruskan. Istilah “tertangkap tangan” sama dengan “tertangkap basah”. Kalau seseorang disadap berbulan-bulan lalu ditangkap, itu bukan tertangkap tangan, melainkan pengintaian dan penjebakan. Celakanya, ini diperbolehkan dalam sistem yang berlaku. Padahal di sinilah tempat penegak hukum bisa melakukan pencegahan agar pelanggaran hukum tidak sampai terjadi.

Kepastian hukum dan keadilan harus dilihat sebagai dua sisi yang tak dapat dipisahkan dari satu koin yang utuh. Sebab, keadilan mesti menjadi tujuan utama dari kepastian hukum. Selain itu, keadilan sendiri tak akan bisa ditemukan apabila tak dibangun dalam kebenaran dan kejujuran dalam penerapan hukum. Sistem peradilan hukum pidana mengenal asas Due Process of Law yaitu setiap tindakan yang dilakukan penegak hukum harus didasarkan pada ketentuan perundang-undangan. Konsep tersebut merupakan penjiwaan dari Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Sistem peradilan pidana harus mencerminkan tiga hal yaitu; keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan, agar mampu menciptakan penegakan hukum yang dicita-citakan.

Home
Hot
Redaksi
Cari
Ke Atas