Miftahul Jannah
Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Bangka Belitung
Saham merupakan salah satu hal yang lumrah dikalangan para penguasaha ataupun para investor yang melakukan penanaman modal dengan tujuan untuk memeperoleh keuntungan. Tidak jarang banyak para penguasaha atau perusahaan yang memiliki aset atau harta yang tidak memiliki wujud fisik (intangible asset). Dalam perkembangannya Intangible asset memiliki berbagai macam bentuk dan variasi yang beragam, salah satu bentuk intangible asset yang populer belakangan ini adalah mata uang kripto. Sebagai contohnya bitcoin yang memiliki harga yang tinggi yaitu sebesar Rp 825.884.208,00 per 29 Maret 2021 untuk setiap 1 keping bitcoin. Namun yang menjadi permasalahannya ialah terkait bagaimana bukti kepemilikian bitcoin dalam konteks kepailitan, hal ini dikarenakan bitcoin tidak diterbitkan oleh lembaga resmi melainkan dibuat oleh software.
Kepailitan sendiri merupakan suatu keadaan hukum yang mana debitor tidak melakukan pembayaran ataupun pelunasan terhadap dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo. Ketika debitor dinyatakan pailit oleh putusan hakim, maka disini tentunya debitor akan kehilangan harta serta aset kekayaan yang ia miliki yang mana pengurusan harta debitor yang dinyakatan pailit akan beralih pada kurator. Kewajiban dari seorang kurator adalah mengamankan serta menyimpan seluruh harta debitor yang pailit. Dalam pasal 98 UU Kepailitan menyatakan secara implisit bahwa harta yang tergolong sebagai harta pailit adalah surat, ang, perhiasan, efek, dokumen, serta surat berharga lainnya yang segera dilakukan pencatatan untuk menghindara tindakan itikad tidak baik debitor yang berusaha menyembunyikan harta kekayaannya.
Harta debitor yang dapat dikatan sebagai harta pailit adalah semua benda yang memiliki nilai ekonomis dan umunya benda-benda yang dapat dijadikan sebagai jaminan. Bitcoin termasuk kedalam jenis benda yang memiliki nilai ekonomis dikarena bitcoin memiliki nilai jual yanng tinggi, walaupun nilai bitcoin sering berubah dalam waktu yang cepat. Dalam kriteria kebendaan, Bitcoin termasuk kedalam objek yang dapat dijaminkan, namun dalam pengaplikasiannya bitcoin belum lazim untuk dijadikan benda jaminan dalam pelunasan utang piutang. Di indonesia penerapan bitcoin sebagai jaminan baru diterapkan oleh platform jual beli bitcoin yang resmi terdaftar di BAPPEBTI yaitu Triv.co.id. Dengan memperhatikan kedaan tersebut maka, bitcoin dapat digolongkan sebagai harta debitor pailit yang dapat dimasukkan oleh kurator dalam daftar harta pailit. Namun sebagai harta pailit bitcoin menimbulkan hambatan-hambatan yang dapat mempersulit kurator dalam melakukan pemaksimalan terkait pengaplikasian bitcoin sebagai harta pailit untuk melunasi utang-utang debitor kepada kreditor.
Hambatan pertama ialah terkait pencacatan harta pailit. Sistem penyimpanan dalam bitcoin sendiri dalam bentuk dompet elektronik (e-wallet) yang mana hanya bisa diakses oleh pemilik e-wallet sendiri. Sistem kriptografi pada bitcoin yang tersimpan hanya bisa diakses oleh pengguna yang memegang kunci aksesnya dengan kata lain hanya dikatehui oleh debitor. Namun dalam Pasal 105 UU Kepailitan menjawab permasalahan tersebut yang mana dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa kurator berhak membuat semua surat-surat yang dialamatkan kepada debitor dan mengambil seluruh komunikasi yang berkaitan dengan harta pailit yang dimiliki debitor. Namun disamping itu semua tetap perlu adanya itikad baik dari debitor untuk memberikan kode akses terhadap e-wallet yang menyimpan bitcoin si debitor yang pailit.
Hambatan kedua terkait itikad tidak baik debitor dimana ia dapat mengalihkan aset yang dimilikinya dalam bentuk bitcoin ke tempat lain, hal ini dikarenkan bentuk bitcoin sendiri memepunyai karakteristik yang tidak terkontrol oleh lembaga tertentu atau pemerintah serta bersifat blockchain. Kurator sendiri tidak bisa mengajukan pembukaan akses terhadap bitcoin kecuali ke pada si debitor yang bersangkutan.
Hambatan ketiga adalah terkait mekanisme penjualan harta pailit berupa bitcoin. Dalam Pasal 185 ayat (1) UU Kepailitan menyebutkan bahwa dalam hal melakukan penjualan harta pailit harus dilakukan di depan umum atau secara lelang eksekusi. Lelang eksekusi sendiri merupakan lelang yang dilakukan dengan menyerahkan dokumen bukti kepemilikan yang sah secara hukum artinya memiliki instansi yang menerbitkan objek dari dokumen tersebut, yang mana dokumen tersebut harus diserahkan kepada pejabat lelang eksekusi. Sedangkan harta pailit dari bitcoin sendiri tidak dikeluarkan oleh lembaga tertentu dan status kepemilikan hanya tercatat dalam buku besar bitcoin. Maka dengan permasalhan tersebut, kurator tentunya akan kesulitan dalam menangani masalah tersebut sebab bitcoin yang dimiliki debitor tidak diperoleh dari lembaga resmi Indonesia. Maka dari pada itu perlu adanya kejelasan terkait peraturan mengenai persyaratan dalam melakukan pelelangan eksekusi harta pailit berupa aset digital terutama dalam hal pemenuhan bukti kepemilikan.
Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa kedudukan bitcoin berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata telah memenuhi klasifikasi dari benda yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak namun bernilai ekonomis. Akan tetapi bitcoin tidak bisa diperdagangkan di Pasar Modal dan tentunya memiliki hambatan-hambatan dalam melakukan penjualan di Pasar Modal dalam rangka memenuhi pelunasan utang debitor yang dinyatakan pailit. Adapun saran yang dapat saya berikan sebagai penulis bahwa perlu adanya pengawasan serta pelatihan kepada hakim pengawas dalam menangani masalah harta pailit debitor berupa bitcoin. Disamping itu juga saya menyarankan bahwa Mahkamah Agung yang bekedudukan sebagai lembaga peradilan dapat membuat regulasi terkait penanganan harta pailit berupa bitcoin, kemudian juga pemerintah dan stakeholder terkait dalam membuat regulasi juga yang mengatur masalah mekanisme pelelangan terhadap harta pailit guna tercapainya kepastian hukum bagi kurator dalam melakukan pelaksanaan eksekusi terhadap harta pailit debitor berupa bitcoin.