INTRIK.ID – Sebelum mengetahui lebih rinci apa – apa saja harus dihindari dalam pemberitaan bunuh diri. Sebaiknya pahami dulu arti kata bunuh diri, dalam KBBI kata bunuh yakni ” Menghilangkan atau Menghabisi nyawa” sedangkan kata diri berarti “satu orang”.
Dari uraian diatas sudah jelas peristiwa bunuh diri dilakukan tunggal atau sendiri. Bagi penggiat pers bunuh diri masuk Rubrik/ Katagori berita Hukum & Kriminal. Secara umum produk berita tentang Hukum & Kriminal banyak pembacanya.
Namun dibalik trendnya produk berita Hukum & Kriminal, ternyata tidak sembarang membuat berita tentang peristiwa bunuh diri. Dewan Pers diamanatkan Undang – Undang nomor 40 Tahun 1999 mengatur kemerdekaan pers, sudah memberikan rambu – rambu terkait peristiwa bunuh diri.
Rambu – rambu tersebut dituangkan dalam peraturan Dewan Pers nomor : 2/PERATURAN – DP/III/2019. Bukan simsalabim tentunya Dewan Pers mengeluarkan peraturan sudah melalui tahapan kajian. Mulai dari alamat tinggal, indentitas, keluarga korban, dan potensi peniruan bunuh diri, diatur dalam peraturan dimaksud.
Sering terjadi demi meningkatkan rating media, pemberitaan kasus bunuh diri dipublis sensasional. Mungkin bagi penggiat pers menjalankan fungsi pendidikan atau kontrol sosial yang tidak kebal hukum, regulasi diatas sudah sepatutnya menjadi acuan produk berita bunuh diri.
Berikut 20 rincian pedoman pemberitaan tentang bunuh diri berdasarkan Peraturan Dewan Pers Nomor : 2/PERATURAN – DP/III/2019
1. Wartawan mempertimbangkan secara seksama manfaat sebuah pemberitaan bunuh diri. Kalaupun dibuat berita, harus diarahkan kepada concern atas permasalahan dihadapi orang yang bunuh diri ( korban ). Bukan justru mengekploitasi kasus tersebut sebagai berita sensasional.
2.Pemberitaan bunuh diri sebaiknya diletakkan atau diposisikan sebagai isu kesehatan jiwa dan bukan isu kriminalitas, karena kasus bunuh diri bukan disebabkan oleh faktor tunggal.
3. Wartawan menyadari bahwa pemberitaan kasus bunuh diri dapat menimbulkan perasaan traumatik kepada keluarga korban, teman dan orang yang mengenal pelaku.
4. Wartawan menghindari pemberitaan yang bermuatan stigma kepada orang yang bunuh diri atau orang yang mencoba melakukan bunuh diri.
5. Wartawan menghindari penyebutan indentitas pelaku ( lokasi ) bunuh diri secara gamblang, untuk menghindari aib atau rasa malu yang akan diderita pihak keluarganya. Indentitas adalah semua data dan informasi menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak.
6. Wartawan menghindari penyebutan lokasi tertentu seperti jembatan, tebing, gedung tinggi yang pernah dijadikan lokasi bunuh diri untuk menghindari aksi pengulangan.
7.Dalam rangka melakukan wawancara terkait aksi buruh diri, wartawan harus mempertimbangkan pengalaman traumatis keluarga atau orang terdekat.
8.Dalam mempublikasikan atau menyiarkan berita yang menayangkan gambar , foto, suara atau video tentang kasus bunuh diri , wartawan mempertimbangkan dampak imitasi atau peniruan dimana orang lain mendapat inspirasi dan melakukan aksi peniruan. Terutama terkait tindakan bunuh diri dilakukan pesohor, artis atau tokoh idola.
9.wartawan menghindari ekspos gambar , foto, suara atau video korban bunuh diri maupun aksi bunuh diri yang dapat menimbulkan perasaan traumatik bagi masyarakat melihat atau menontonnya.
10. Wartawan Pers penyiaran menghindari siaran langsung terhadap orang yang sedang melakukan aksi bunuh diri.
11. Wartawan menghindari penyiaran secara detail modus dari aksi bunuh diri, mulai dari cara, peralatan, jenis obat atau bahan kimia, maupun teknik yang digunakan pelaku. Termasuk tidak mengutip secara detail informasi yang berasal dari dokter maupun penyidik kepolisian ataupun membuat sketsa dan bagan terkait hal tersebut.
12. Wartawan menghindari pengambilan bahan dari media sosial, baik foto, tulisan, suara maupun video dari korban bunuh diri untuk membuat berita bunuh diri.
13. Wartawan menghindari berita ulangan terkait riwayat seseorang yang pernah melakukan upaya bunuh diri.
14. Wartawan menghindari pemberitaan menggambarkan perilaku bunuh diri sebagai respon “alami” atau ” yang dapat dipahami” terhadap masalah, misalnya kegagalan mencapai tujuan penting, kesulitan hubungan atau krisis keuangan. Wartawan tidak menguraikan perilaku bunuh diri sebagai tindakan tragis sekaligus heroik oleh seseorang yang memiliki segala sesuatu dalam hidup, seperti karier, posisi, kekayaan.
15.Pers menghindari eksploitasi pemberitaan kasus bunuh diri antara lain dengan cara mengulang – ulang pemberitaan kasus bunuh diri yang terjadi atau yang pernah terjadi.
16. Wartawan menggunakan secara hati – hari diksi serta istilah, dan menghindari penggambaran yang hiperbolik. Data statistik harus diperlukan hati – hari dengan sumber yang jelas.
17. Pers menghindari pemuatan atau penayangan berita mengenai bunuh diri pada halaman depan. Kecuali penulisan mendalam mengenai situasi kesehatan masyarakat dan bunuh diri hanya ditulis sebagai misal.
18. Wartawan diperbolehkan menulis atau menyiarkan berita lebih detail dengan fokus untuk pengungkapan kejahatan dibalik kematian yang semula diduga sebagai kasus bunuh diri, karena kepentingan dengan masyarakat luas.
19. Dalam hal pers atau wartawan memutuskan untuk memberitakan kasus bunuh diri, maka berita yang ada harus diikuti dengan panduan untuk mencegah pembaca, pendengar, atau pemirsa melakukan hal serupa seperti refrensi kelompok, alamat, dari nomor kontak lembaga dimana orang – orang mengalami keputusan dan berniat bunuh diri bisa memperoleh bantuan. Wartawan harus meminta pendapat para pakar yang relevan dan memiliki empati untuk pencegahan bunuh diri.
20. Pemberitaan tentang bunuh diri tidak boleh dikaitkan dengan hal – hal gaib, takhayul atau mistis.