Opini

    Standar Kemiskinan Nasional dan Dunia, Tersembunyi dalam Angka

    ×

    Standar Kemiskinan Nasional dan Dunia, Tersembunyi dalam Angka

    Sebarkan artikel ini

    Oleh: Ratna Aprilia Rahayu, S.Pd (Pendidik dan Aktivis Dakwah)

    Bank Dunia dalam laporan Macro Poverty Outlook edisi April 2025 menetapkan bahwa penduduk Indonesia yang memiliki pengeluaran kurang dari USD 6,85 atau sekitar Rp113.777 per hari (kurs Rp16.606) tergolong sebagai kelompok miskin di negara berpendapatan menengah atas. Karena menggunakan pendekatan pendekatan tersebut antara lain, dengan menggunakan hitungan garis kemiskinan 2,15 dolar Amerika Serikat (AS) per kapita per hari untuk mengukur tingkat kemiskinan ekstrem; 3,65 dolar AS per kapita per hari untuk negara-negara berpendapatan menengah bawah (lower-middle income); dan 6,85 dolar AS per kapita per hari untuk negara-negara berpendapatan menengah atas (upper-middle income). (tirto.id, 14/05/2025)

    Berdasarkan standar ini, sekitar 60 persen penduduk Indonesia, setara 171,9 juta jiwa, masih tergolong miskin. Meski begitu, jumlah tersebut mengalami penurunan tipis dari 61,8 persen pada tahun 2023. Indonesia sendiri kini resmi masuk dalam kelompok negara berpendapatan menengah atas, setara dengan Malaysia dan Thailand. (Liputan6.com, 14/05/2025)

    Perbedaan Standar Kemiskinan

    Perihal perbedaan standar kemiskinan ini, Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti mengungkapkan bahwa memang terdapat perbedaan patokan penilaian atas kemiskinan antara Bank Dunia dengan BPS RI. Ia mengatakan, Bank Dunia menilai kemiskinan melalui standar masyarakat menengah atas, yakni sistem purchasing power parity (PPP) 2017 yang mencapai USD6,85 per kapita. Artinya, kita tidak bisa langsung mengonversi dengan nilai tukar saat ini karena itu adalah nilai tukar PPP yang basisnya 2017 sehingga angka hasil konversinya akan berbeda.

    Ia juga mengatakan, garis kemiskinan dunia yang ditetapkan Bank Dunia tidak seharusnya langsung diterapkan oleh masing-masing negara. Sebabnya, tiap negara memiliki nilai garis kemiskinan sendiri. Banyak negara yang memiliki garis kemiskinan di wilayahnya yang dihitung berdasarkan keunikan dan standar hidupnya masing-masing. Untuk itu wajar jika garis kemiskinan milik Bank Dunia juga berbeda dengan garis kemiskinan yang ditetapkan Pemerintah RI.

    Namun demikian, atas dalih yang disampaikan oleh pemerintah, sekecil apa pun angka kemiskinan semestinya tidak dibiarkan, apalagi sampai berlarut-larut. Jika kita hendak jujur, angka yang dirilis Bank Dunia setidaknya lebih masuk akal karena tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia memang tidak begitu baik.

    Kita bisa melihat buktinya dari maraknya PHK massal belakangan ini. Juga banyaknya warga menengah ke bawah yang terjerat gurita judol demi mengejar iming-iming pendapatan besar. Belum lagi jerat pinjol yang berdampak pada meningkatnya masalah kesehatan mental hingga tidak jarang memicu tindakan bunuh diri.

    Sedangkan penguasa hanya sibuk mengatasi dengan pemberian bansos, tetapi abai menanggulangi inflasi dan rendahnya daya beli masyarakat. Penguasa juga cenderung fokus pada berbagai program populis, tetapi tidak meningkatkan pelayanan dan kualitas fasilitas publik. Lihat saja program MBG, Sekolah Rakyat, program tiga juta rumah, dan lainnya sejatinya menjadi program-program yang menghamburkan anggaran negara, tetapi efektivitasnya patut dipertanyakan.

    Pada konteks ekonomi makro, penguasa justru menerbitkan berbagai kebijakan yang lebih memihak korporasi dan oligarki. Ini sejalan dengan hasil riset Center of Economic and Law Studies (Celios) pada 2024 yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak terdistribusi secara merata. Sejak 2020 hingga 2023, kekayaan tiga orang terkaya di Indonesia meningkat lebih dari 174%, sedangkan upah pekerja di Indonesia pada periode yang sama hanya tumbuh 15%. Bukankah ini cukup membuktikan adanya “perselingkuhan nyata” antara penguasa dengan pengusaha?

    Perbedaan standar kemiskinan nasional dan dunia yang sangat jomplang. Penyebabnya adalah perbedaan standar pengukuran. Seseorang bisa dikategorikan tidak miskin secara nasional, tetapi masuk dalam kategori miskin ekstrem secara global Oleh karena itu butuh data yang akurat terhadap realitas kemiskinan di lapangan. Bukan data contoh yang tidam dapat menjadi tolak ukuran kebenaran dalam masyarakat ataupun bangsa yang ada.

    Kapitalisme Biang Masalah

    Perbedaan standar kemiskinan karena dampak dari penerapan sistem Kapitalisme dalam tata kelola ekonomi dan sosial. Dengan standar rendah, negara bisa mengklaim sukses “mengurangi kemiskinan”, padahal itu hanya manipulasi angka untuk menarik investasi, Kapitalisme gagal menyejahterahkan rakyatnya.

    Sungguh, perbedaan standar kemiskinan antara Bank Dunia dan pemerintah tidak lantas membuat kemiskinan di negeri kita bisa diatasi secara tuntas. Rendahnya standar kemiskinan yang meski pemerintah klaim lebih riil dengan kondisi masyarakat Indonesia, sejatinya hanya kesuksesan semu pemerintah untuk mengurangi angka kemiskinan secara nasional.

    Lebih buruk lagi, hal itu tidak ubahnya manipulasi angka yang suatu saat nanti bisa digunakan untuk menarik investasi. Namun toh lagi-lagi datangnya investasi itu tidak akan berdampak positif bagi masyarakat luas, melainkan hanya “numpang lewat” di tangan korporasi. Dengan kata lain, sungguh kapitalisme yang tegak di negeri ini telah gagal menyejahterakan rakyat.

    Kemiskinan di Indonesia nyatanya tidak hanya miskin yang biasa-biasa saja, sebagaimana rakyat yang gajinya di bawah garis kemiskinan. Namun, di negeri yang gemah ripah loh jinawi ini ternyata ada warga miskin dengan status ekstrem. Merujuk data BPS, tingkat kemiskinan ekstrem per Maret 2024 mencapai 0,83%. Angka tersebut menurun dibandingkan data Maret 2023, yakni 1,12%.

    Mengutip laman Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kesejahteraan Sosial Kemenko PMK (2024), kemiskinan ekstrem menggambarkan keadaan seseorang atau kelompok yang tidak mampu memenuhi kebutuhan paling dasar, seperti makanan, air bersih, sanitasi, layanan kesehatan, tempat tinggal yang layak, pendidikan, serta akses terhadap informasi dan layanan sosial yang penting untuk kehidupan sehari-hari. Namun faktanya, kelompok masyarakat yang seperti ini tidaklah sedikit.

    Menurut Kemenko PMK pula, kemiskinan ekstrem bisa dilihat ketika penghasilan seseorang kurang dari Rp45 ribu/hari. Masalahnya jika di dalam satu keluarga hanya satu orang yang bekerja, tentunya nominal Rp45 ribu itu digunakan untuk biaya hidup harian sekeluarga. Pemerintah Indonesia menargetkan penghapusan kemiskinan ekstrem pada 2024. Meskipun ada penurunan angka kemiskinan ekstrem, target penghapusan kemiskinan ekstrem tentu membutuhkan dukungan dan solusi sistemis dari luar sistem kapitalisme.

    Islam Solusi Tuntas

    Sistem Ekonomi Islam adalah solusi untyuk mengentaskan kemiskinan. Islam memandang bahwa pemenuhan kebutuhan pokok setiap individu adalah tanggung jawab negara, bukan diserahkan kepada mekanisme pasar atau korporasi. Rasulullah ﷺ bersabda:

    Imam (khalifah) adalah pemelihara dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

    Lain BPS lain Bank Dunia, sudah saatnya kita menyudahi perbedaan standar kemiskinan di negeri kita. Terjadinya kemiskinan di Indonesia, padahal negeri ini kaya SDA, jelas di baliknya ada faktor absennya penguasa dalam rangka mencukupi kebutuhan rakyat. Penanggulangan kemiskinan tidak cukup dengan sekadar penyaluran bantuan sosial.

    Lebih dari itu, masyarakat Indonesia membutuhkan jaminan politik sahih untuk mengurus urusan mereka, baik itu pada level individu, keluarga, masyarakat, maupun negara. Rekam jejak kapitalisme yang senantiasa membuahkan derita menegaskan bahwa kapitalisme sudah saatnya dibuang dan diganti dengan sistem yang lebih baik sekaligus sahih, yakni sistem Islam dalam naungan Khilafah.

    Dengan akidah Islam sebagai landasan kepemimpinan dan peraturan kehidupan, Khilafah akan menempatkan diri sebagai pengurus rakyatnya. Khilafah menerapkan sistem ekonomi Islam yang menjamin distribusi harta secara merata individu per individu sesuai dengan kebutuhan mereka. Khilafah tidak akan berkompromi dengan para kapitalis, menjadi antek asing, dan menggadaikan kekayaan alam demi kepentingan diri penguasa dan golongannya.

    Di dalam kitab Nizhamu al-Iqtishadi fi al-Islam (Sistem Ekonomi Islam), Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah menjelaskan, orang miskin (faqir) menurut syariat adalah orang yang membutuhkan, keadaannya lemah, dan tidak bisa dimintai apa-apa. Beliau rahimahullah menyatakan bahwa dalam sistem ekonomi kapitalisme, kemiskinan dianggap sebagai sesuatu yang relatif (nisbi) dan bukan kondisi tertentu yang bersifat tetap dan tidak berubah. Anggapan versi kapitalisme ini adalah anggapan yang salah karena kapitalisme memosisikan makna sesuatu sekadar “anggapan” dan bukan riil, padahal kemiskinan memiliki fakta hakiki. Untuk itu kemiskinan sejatinya bisa diatasi, bukan melalui sistem ekonomi kapitalisme, melainkan dengan Islam.

    Islam memandang bahwa kemiskinan adalah tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan primer (sandang, pangan, dan papan) secara menyeluruh. Islam telah menjadikan upaya pemenuhan kebutuhan primer adalah fardu. Namun, jika seseorang tidak bisa memenuhi kebutuhan primernya sendiri, syariat telah menjadikan orang tersebut wajib ditolong oleh orang/pihak lain agar dirinya tetap bisa memenuhi kebutuhan primernya. Allah Taala berfirman, “Berikanlah (sebagian lagi) kepada orang-orang yang sengsara lagi faqir.” (QS Al-Hajj [22]: 28).

    Pihak pertama yang wajib menolong orang faqir tersebut adalah kerabat terdekat yang memiliki hubungan waris. Jika pihak pertama ini tidak ada, kewajiban nafkah tersebut berpindah kepada negara, yakni melalui baitulmal pada pos zakat. Selain zakat, baitulmal masih memiliki jalur pemasukan lain yang beragam dan masing-masing jalur memiliki potensi jumlah yang besar. Peruntukan tiap pos anggaran harus sesuai syariat dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat. Sumber-sumber harta di baitulmal itu di antaranya dari fai, kharaj, jizyah, dan pengelolaan harta kekayaan milik umum berupa SDA yang diatur secara syar’i.

    Dalam Khilafah, munculnya gejala kelangkaan barang saja sudah membuat Khilafah harus mengoreksi keberlangsungan distribusi ekonomi di tengah masyarakat agar kelangkaan itu jangan sampai terjadi, alih-alih berlarut-larut sampai terjadi kemiskinan ekstrem. Khilafah wajib menjaga keberlangsungan dan keseimbangan distribusi ekonomi, bahkan menjamin agar semua individu rakyat bisa makan dengan porsi cukup tanpa ancaman kelaparan. Allah Taala berfirman, “… supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu…” (QS Al-Hasyr [59]: 7).

    Khilafah tidak akan membiarkan kapitalisasi sektor-sektor publik seperti pendidikan, kesehatan, keamanan, dan transportasi. Sebaliknya, Khilafah justru mengelola semua sektor publik itu agar bisa berwujud pelayanan gratis bagi rakyat.

    Khilafah juga menjamin tersedianya lapangan kerja bagi rakyat, khususnya bagi para laki-laki dewasa sehingga mereka bisa mencari nafkah untuk keluarganya. Pada saat yang sama, Islam telah mengatur bahwa hukum bekerja bagi kaum perempuan adalah mubah (boleh). Dengan kata lain, boleh pula jika perempuan menghendaki untuk tidak bekerja. Syariat Islam telah menjamin jalur nafkah bagi kaum perempuan sehingga mereka tidak terpaksa bekerja demi bisa memiliki harta. Realitas bekerja bagi perempuan di dalam sistem Islam berbeda dengan versi kapitalisme.

    Sungguh pengentasan kemiskinan bisa diwujudkan dalam penerapan syariat Islam kafah melalui tegaknya Khilafah. Rakyat akan mendapatkan kesejahteraan dan perlindungan yang tidak hanya untuk kaum muslim, tetapi juga nonmuslim. Dengan sistem dan kepemimpinan Islam, kebutuhan dasar rakyat berupa sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan akan terpenuhi secara individu per individu. Wallahualam bissawab.(*)

    Ikuti berita INTRIK.ID di Google News

      Home
      Hot
      Redaksi
      Cari
      Ke Atas