Maryani, S.Pd
(Pendidik dan Aktivis Muslimah Muda Bangka Belitung)
Setiap hari, jempol Gen-Z menelusuri dunia melalui gawainya. Mulai dari gosip selebriti, cuplikan drama, hingga tragedi kemanusiaan. Semua bercampur dalam satu arus tanpa henti bernama For You Page atau FYP media sosial.
Menurut lembaga riset sosial Pew Research Center Amerika (2019), Gen-Z adalah mereka yang lahir antara tahun 1997-2012. Gen-Z disebut generasi digital native. Yaitu generasi yang lahir dan tumbuh dalam pusaran algoritma. Di saat informasi datang silih berganti tanpa diminta. Di antara potongan video lucu dan tren menari, mungkin akhir-akhir ini muncul wajah anak-anak Afrika yang berlari di jalan berdebu, wanita berkerudung menjerit ketakutan, atau kota yang luluh lantak. Itulah Sudan.
Agaknya potongan video Sudan di FYP telah membuat Gen-Z bertanya-tanya, sebenarnya apa yang terjadi di Sudan dan bagaimana seharusnya Gen-Z muslim menyikapinya?
Apa yang Terjadi di Sudan?
Gen-Z harus menyadari bahwa krisis di Sudan bukanlah konflik yang muncul tiba-tiba. Negara ini telah lama bergulat dengan perang saudara, perebutan kekuasaan, dan ketimpangan sosial serta permasalahan ekonomi yang ekstrim. Sejak April 2023, pertempuran antara dua kekuatan militer Sudan (Sudanese Armed Forces, SAF) dan pasukan paramiliter Rapid Support Forces (RSF) pecah. Pertempuran ini telah menjelma menjadi perang brutal yang menelan banyak korban.
Dan ledakannya terjadi pada 26 Oktober 2025, di Al-Fasher, ibu kota Darfur Utara, Sudan bagian barat. Pasukan Dukungan Cepat (Rapid Support Forces/RSF) yang dipimpin Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo berhasil merebut kota tersebut setelah mengepungnya selama lebih dari delapan belas bulan. Akibat serangan brutal ini, tercatat lebih dari 2.200 warga sipil tewas dan sekitar 393 ribu lainnya terpaksa mengungsi.
Kejadian di Al-Fasher menjadi puncak dari krisis panjang yang selama ini menimpa Sudan. Meski berita tentang tragedi ini sempat tenggelam di tengah sorotan global terhadap Gaza, situasinya tidak kalah mengerikan. Selama masa pengepungan, sekitar 1,2 juta penduduk kota hidup dalam kelaparan ekstrem hingga harus bertahan dengan memakan pakan hewan. Banyak perempuan menjadi korban kekerasan seksual sebelum dibunuh bersama anak-anak mereka, sementara kaum laki-laki disiksa, digantung di tempat umum, dan ditembak secara massal. Lebih kejam lagi, sebagian aksi kekerasan tersebut direkam dan disebarkan secara terbuka ke dunia internasional.
Menurut laporan Al Jazeera (29 Oktober 2025), konflik yang telah berlangsung lebih dari satu setengah tahun itu menyebabkan lebih dari 150 ribu korban jiwa dan lebih dari 12 juta orang mengungsi baik di dalam negeri maupun ke negara tetangga.
Yale Humanitarian Research Lab (2025) mencatat bukti satelit atas pembunuhan massal, serangan terhadap fasilitas medis, dan tindakan kekerasan seksual yang sistematis. Sementara Republika (2025) melaporkan bahwa warga sipil dibunuh di masjid dan rumah sakit.
Mengapa Sudan Mengalami Krisis?
Krisis Sudan bukan konflik etnis murni. Melainkan krisis yang tercipta dari kepentingan negara-negara besar. Inggris telah mewariskan luka kolonial sejak abad ke-19 dengan kebijakan diskriminatif “closed door ordinances” yang memisahkan wilayah Utara (Arab-Muslim) dan Selatan (Kristen-Animis).
Kemudian setelah Perang Dunia II, Amerika datang mengambil alih dominasi politik-sekonomi Inggris di Sudan. Dengan dalih transisi demokrasi, padahal tujuannya mengamankan akses minyak dan emas Sudan. Sementara UEA dan Israel ikut bermain di jalur senjata dan perdagangan emas. (Muslimah News, “Sudan Merana di Bawah Cengkeraman Kepentingan Barat”, 05 November 2025).
Semua ini menunjukkan bahwa penderitaan rakyat Sudan adalah hasil dari kerakusan kapitalisme global yang berlomba menguasai sumber daya alam negeri Muslim. Lebih dalam lagi, Sudan adalah potret dari ketidakadilan global yang menimpa banyak negeri Muslim termasuk Palestina, Suriah, dan Yaman.
Sudan: Saudara Kita, Seperti Palestina
Sudan adalah negeri Muslim terbesar ketiga di benua Afrika, dengan populasi lebih dari 46 juta jiwa. Mayoritas warganya beragama Islam, dan sejarahnya terhubung erat dengan peradaban Islam di Afrika Timur. Negara ini memiliki lebih banyak piramida dibanding Mesir, dan Sungai Nil yang lebih panjang di wilayahnya (Republika, 2024).
Namun di balik kekayaan sejarah dan alam itu, Sudan justru terperosok dalam krisis kemanusiaan yang panjang. Padahal Sudan adalah negeri yang kaya sumber daya alam. Bahkan disebut sebagai produsen emas terbesar di dunia Arab. Namun kekayaan Sudan tidak membuatnya sejahtera. Justru menjadi petaka dan tanah pertumpahan darah akibat kerasukan negara-negara kapitalis.
Sebagai Muslim, penderitaan di Sudan seharusnya mengetuk hati dan akal kita.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Perumpamaan kaum mukminin dalam hal saling mencintai, menyayangi, dan berlemah lembut bagaikan satu tubuh; jika satu anggota sakit, seluruh tubuh ikut merasakan sakit dan tidak bisa tidur.” (HR. Bukhari & Muslim)
Apa yang Harus Gen Z Muslim Lakukan untuk Sudan?
Gen Z sering dicitrakan sebagai generasi yang “cuek”, sibuk dengan trend, dan sulit fokus. Padahal citra tersebut tidak selalu benar. Faktanya ketika isu Palestina memuncak pada 2023–2024, justru Gen Z-lah yang paling banyak membanjiri media sosial dengan konten kesadaran: video edukatif, infografis, dan aksi kampanye digital. Di TikTok, misalnya, tagar #FreePalestine sudah ditonton lebih dari 26 miliar kali (Statista, 2024). Sementara di Instagram dan X (Twitter), Gen Z membuat gelombang solidaritas digital global, dari Indonesia, Malaysia, AS, hingga Amerika Latin.
Karena hidup di era informasi, Gen-Z punya keunggulan luar biasa, yaitu akses. Inilah saatnya Gen-Z kembali memainkan jari untuk menyuarakan Sudan. Gen-Z tidak hanya menjadi konsumen informasi, tapi juga produsen narasi.
Berikut tiga hal nyata yang bisa dilakukan oleh Gen Z Muslim sebagaimana yang dijelaskan oleh Dr. Fika Komara dalam forum diskusi online Muslimah News (07 November 2025):
- Menyebarkan kesadaran tentang isu Sudan
Gen-Z harus menyebarkan kesadaran (awareness) mengenai krisis kemanusiaan di Sudan, sebagaimana semangat yang sama pernah ditunjukkan saat membela Palestina. Gen Z memiliki kekuatan besar di ruang digital untuk mengangkat isu ini agar tidak tenggelam. Penting untuk menekankan bahwa perpecahan di antara negara-negara Muslim, termasuk di Sudan, sering kali dimanfaatkan oleh kekuatan asing melalui konflik antar-faksi militer. Karena itu, menyuarakan persatuan umat menjadi hal yang sangat penting.
- Menghadirkan sudut pandang Islam dalam melihat konflik Sudan
Gen Z perlu menunjukkan bahwa Islam memiliki pandangan atau POV yang jelas mengenai urgensi persatuan, peran militer yang seharusnya melindungi umat, serta sistem ekonomi yang mampu menyalurkan kekayaan dengan adil. Dengan cara ini, isu Sudan tidak hanya dibahas dari sisi politik atau ekonomi semata, tetapi juga dari sisi ideologis dan moral yang bersumber dari ajaran Islam.
- Menguatkan kembali gagasan persatuan umat di bawah sistem Islam
Gen-Z harus menyadari bahwa persatuan umat memerlukan wadah atau sistem pemersatu yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW, yaitu sistem khilafah. Gen-Z harus mempromosikan bahwa Khilafah sebagai al-junnah (perisai) bagi umat Islam. Dalam konteks Sudan, sistem ini diyakini mampu membangun struktur militer yang bersih dan berintegritas, terbebas dari korupsi dan kepentingan pribadi. Khilafah juga akan membangun sistem ekonomi yang mandiri serta mampu mengelola sumber daya alam secara adil untuk seluruh lapisan masyarakat. Lebih dari itu, sistem ini akan menjaga kehormatan kaum Muslimah dan melindungi anak-anak dari kekerasan dan kejahatan.
Wallahu ‘alam bisshowab.




