Scroll untuk baca artikel
Opini

Benarkah Menaikkan Pajak untuk Menyelamatkan Keuangan Negara?

90
×

Benarkah Menaikkan Pajak untuk Menyelamatkan Keuangan Negara?

Sebarkan artikel ini
IMG 20241016 234327
Meyla Narulita, A.Md.Kep

Oleh : Meyla Narulita, A.Md.Kep

Baru-baru ini masyarakat Indonesia kembali dibuat heboh dengan kebijakan pemerintah terkait perpajakan. Seperti yang sampaikan oleh menteri keuangan Sri Mulyani, pemerintah berencana untuk menaikkan tarif pajak pertambahan nilai atau PPN di tahun 2025.

Pajak di Sistem Kapitalisme

APBN adalah anggaran pendapatan dan belanja negara yang bersumber dari penerimaan pajak, penerimaan negara bukan pajak, dan penerimaan hibah. Penerimaan pajak merupakan sumber pendapatan negara yang paling dominan.

Menurut undang-undang nomor 28 tahun 2007, pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Artinya, pajak itu sifatnya wajib dan memaksa.

Pajak dikumpulkan ke APBN beserta penerimaan negara bukan pajak lainnya lalu didistribusikan ke pemerintah pusat dan daerah maupun desa untuk menunjang pembangunan demi kesejahteraan seluruh warga negara Indonesia. Salah satunya untuk pembangunan infrastruktur, fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan dan lain-lainnya. Dan dana yang dipakai diambil dari pajak yang di dalamnya termasuk PPN.

Tarif PPN telah ditetapkan pemerintah Indonesia menjadi 11% sejak 1 April 2022 lalu dan akan dinaikkan secara bertahap sampai 12% di tahun 2025. Kenaikan PPN menjadi 12% ini merupakan salah satu rencana penyesuaian pajak pemerintah yang diatur dalam undang-undang nomor 7 tahun 2021 tentang harmonisasi peraturan perpajakan (UU HPP), atas pengesahan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pada 29 Oktober 2021 lalu. Selain itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan kenaikan tarif PPN juga bertujuan menempatkan Indonesia sejajar dengan negara-negara OECD (The Organization for Economic Cooperation and Development). Pasalnya, saat ini tarif PPN Indonesia masih berada di bawah rata-rata tarif negara lain. (pajak.com)

Menurut laporan Kepala Subdirektorat Pengelolaan Penerimaan Pajak Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan Muchamad Arifin, pada tahun 2024, pencapaian target penerimaan pajak kembali menghadapi tekanan yang cukup besar akibat dampak dari penurunan harga komoditas dan peningkatan restitusi. Sampai dengan Agustus 2024, penerimaan pajak mencapai Rp 1.196,54 triliun atau 60,16% dari APBN 2024. Penerimaan pajak ditargetkan sebesar Rp 2.189,3 triliun, atau tumbuh 13,9% dari outlook 2024. Menurut Arifin, pertumbuhan pajak pada 2025 akan ditopang oleh pertumbuhan penerimaan PPh nonmigas, serta PPN & PPnBM. Oleh karena itu, kenaikan PPN ini merupakan strategi optimalisasi yang dilakukan pemerintah agar target penerimaan pajak ini bisa tercapai.

Kenaikan Pajak Menyengsarakan Rakyat

Kenaikan PPN berhubungan erat dengan kesejahteraan masyarakat. Seperti membangun rumah sendiri akan kena pajak pertambahan nilai (PPN). Pada 2022, PPN yang berlaku adalah 11% sehingga nilai pajak membangun rumah sendiri adalah 2,2%. Sementara pada tahun 2025, dengan naiknya PPN menjadi 12% pajak membangun rumah sendiri menjadi 2,4%. Tujuannya adalah agar semua proses pembangunan, baik yang dibantu oleh kontraktor maupun sendiri, mendapatkan tanggungan yang sama. Istilahnya adalah untuk menciptakan keadilan. Yang seharusnya adalah negara yang menyediakan rumah murah bagi rakyat tanpa pajak. Namun sayangnya justru rakyat yang di palak dengan dalih keadilan. Lagi-lagi rakyat dirugikan.

Dan lebih menyedihkannya lagi bahwa kenaikan PPN dari tahun ke tahun berpengaruh terhadap makin menurunnya kelompok kelas menengah masyarakat. Pada tahun 2019, jumlah kelompok kelas menengah sebanyak 57,33 juta orang. Namun pada tahun 2024 jumlahnya merosot menjadi 47,85 juta orang. Artinya ada hampir 10 juta orang berada di kalangan bawah dalam kurun waktu tersebut.

Sehingga dapat kita lihat bahwa kebijakan kenaikan pajak yang ditetapkan pemerintah ini menimbulkan kesulitan bagi rakyat bahkan menyebabkan kesengsaraan. Pemerintah seolah menutup mata atas penderitaan rakyatnya. Sehingga ketika memutuskan kebijakan seringkali tidak berpihak kepada kepentingan rakyatnya.

Bentuk Kezaliman Penguasa Sekuler Kapitalistik

Dalam sistem kapitalisme, pajak menjadi instrumen pertama pemasukan negara. Sebab pajak menjadi bagian dari kebijakan fiskal. Kebijakan ini dianggap dapat membantu negara mencapai kestabilan ekonomi dan bisnis sebab dapat menyesuaikan pengeluaran negara dengan pendapatan yang diterima dari pajak. Berbagai sektor barang maupun jasa tak luput dikenai beban pajak. Padahal jika pajak naik maka harga-harga barang dan jasa juga ikut naik. Dan ketika barang dan jasa itu naik maka daya beli masyarakat juga semakin lemah sehingga mengakibatkan perlambatan pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Dan dari sisi permintaan pasar juga mengalami kesulitan. Namun sayangnya hal ini seperti diabaikan.

Bahkan negara terus mengelabui rakyatnya dengan berbagai slogan-slogan supaya rakyat mau membayar pajak. Seperti “warga negara yang baik adalah yang taat pajak”. Atau “orang bijak taat pajak”. Bahkan disematkan pahlawan bagi negeri ini.

Padahal secara fakta kebijakan pajak ini justru semakin membebani rakyat. Namun disaat negara terus menggenjot pajak kepada rakyat sipil, negara justru mengeluarkan berbagai kebijakan yang membantu rakyat ‘pengusaha’ seperti tax amnesty dan insentif lainya. Negara juga dapat mengubah aturan terkait pajak tanpa dianggap melanggar aturan negara. Seperti yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menerbitkan aturan yang menerinci terkait pemberian fasilitas perpajakan dan kepabeanan di Ibu Kota Nusantara (IKN). Aturan tersebut diterbitkan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) no 28 tahun 2024, yang menyebutkan salah satu fasilitas perpajakan yang diberikan adalah pajak penghasilan (PPh).

Demikianlah pajak yang diatur oleh sistem ekonomi kapitalisme. Pajak digunakan untuk memalak rakyat sipil dan membuat ekonomi negara lemah karena tidak memiliki sumber pendapatan negara yang kokoh. Maka jika kebijakan ini tetap diterapkan, ini merupakan bentuk kezaliman yang nyata dari penguasa atas rakyatnya.

Allah Swt. berfirman, “Sesungguhnya, dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa. Mereka itu mendapat azab yang pedih. (QS Asy Syura : 42).

Dalam hadis, “barangsiapa yang diserahi kepemimpinan terhadap urusan kaum muslimin namun ia menutup diri tidak mau tahu kebutuhan mereka dan kefakiran mereka, niscaya Allah tidak akan memperhatikan kebutuhannya dan kefakirannya pada Hari Kiamat.” (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).

Pengaturan Pajak dalam Pandangan Islam

Syariat Islam memiliki sebuah regulasi atau pengaturan dalam konsep ekonomi Syariah tentang bagaimana mengatur sisi penerimaan atau pemasukan dan sisi belanja di dalam APBN.

Syaikh Taqiyuddin an Nabhani dalam kitab Nidzamil Iqtisadiy menjelaskan sistem keuangan Islam berbasis Baitul Maal.

Baitul Maal memiliki tiga pos pemasukan :

  1. Pos kepemilikan negara yang bersumber dari harta fai’ dan kharaj yang meliputi ghanimah, anfal, fai’, khumus, kharaj, status tanah dan jizyah. Jenis harta tersebut merupakan pemasukan tetap negara. Adapun pemasukan tidak tetap negara dari pos kepemilikan negara berupa dharibah (pajak).
  2. Pos kepemilikan umum yang bersumber dari harta pengelolaan SDA seperti minyak, gas bumi, listrik, pertambangan, laut, sungai, perairan dan mata air, hutan dan padang (rumput) gembalaan, serta aset-aset yang diproteksi negara untuk keperluan khusus. Bagian harta kepemilikan umum dibuat tempat khusus agar tidak bercampur dengan harta lainnya.
  3. Pos zakat yang bersumber dari zakat fitrah atau zakat maal kaum muslimin. Seperti zakat uang dan perdagangan, zakat pertanian dan buah-buahan, zakat (ternak) unta, sapi dan kambing. Selain itu pos ini menampung harta sedekah, infaq, wakaf dari kaum muslimin. Untuk pos harta zakat ini dibuat tempat khusus di baitul maal agar tidak bercampur dengan harta lainnya.

Berbagai pos pemasukan baitul maal ini akan membuat negara kaya raya dan sanggup membiayai kebutuhan negara maupun rakyatnya.

Dengan syariat Islam juga, masing-masing pos penerimaan atau pemasukan itu sudah memiliki peruntukannya atau alokasi belanjanya masing-masing.

  1. Harta yang berasal dari penerimaan zakat maka ini dikhususkan untuk 8 golongan. Tidak boleh digunakan untuk yang lain, semisal jalan atau jembatan. Namun jika tidak ada pemasukan maka tentu tidak ada pembagian terhadap 8 kelompok tadi.
  2. Harta baitul mal yang dialokasikan untuk orang-orang fakir, miskin, Ibnu Sabil, untuk orang-orang yang sedang berada dalam perjalanan, untuk keperluan jihad. Maka seandainya dalam alokasi belanja ini kosong dan jika ditangguhkan menimbulkan bahaya maka negara bisa mencari pinjaman kepada harta kaum muslimin.
  3. Alokasi pembelanjaan untuk gaji tentara, gaji pegawai, gaji tenaga pengajar, tenaga kesehatan, hakim maka diambil dari harta kepemilikan negara. Dan apabila kosong maka bisa diambilkan dari alokasi yang lain yang itu menjadi harta milik umat/kepemilikan umum. Tapi bila tidak berbahaya jika terjadi penundaan maka bisa saja ditunda untuk sementara.
  4. Alokasi pembelanjaan untuk suatu kemaslahatan dan kemanfaatan seperti membangun jalan, masjid sarana sekolah, rumah sakit, kalau dalam sistem syariah semuanya itu diberikan secara bebas biaya dan disediakan sebagai layanan negara tanpa dipungut biaya sepeser pun maka ini dikelola hartanya diambilkan dari pos kepemilikan negara. Dan jika tidak ada maka berpindah kepada umat. Artinya bisa diambilkan dari harta kepemilikan umum.
  5. Alokasi pembelanjaan untuk membuat jalan tapi bukan jalan yang utama (jalan tambahan), sudah dari rumah sakit tapi akan dibuat rumah sakit baru, sudah ada perguruan tinggi tapi akan dibangun perguruan tinggi baru dan yang semacam itu, maka untuk alokasinya ditentukan berdasarkan ada tidaknya harta di Baitul mal. Jika tidak ada harta di baitul mal maka untuk alokasi belanja ini tidak dipaksakan.
  6. Dalam situasi diluar dugaan seperti paceklik, terjadi bencana gempa bumi, angin topan, atau terjadi pandemi maka tidak diperhitungkan berdasarkan adanya harta. Artinya ini harus diadakan pembiayaannya. Jika ada maka wajib disalurkan seketika itu juga, apabila tidak ada maka kewajibannya dipikul oleh kaum muslimin. Harta itu akan dikumpulkan dari kaum muslimin kemudian diletakkan di dalam baitul mal untuk disalurkan kepada yang berhak. Apabila harus berhutang karena itu yang lebih cepat maka hutang itu akan dibayarkan ketika harta sudah terkumpul dari harta kaum muslimin.

Adapun pajak (dharibah) dikategorikan sebagai pemasukan tidak tetap negara. Pasalnya dharibah dalam sistem Islam hanya dipungut dalam kondisi temporer yaitu ketika kas Baitul Maal menipis atau kosong. Sementara negara harus membiayai kebutuhan kaum muslimin yang bersifat genting dan jika tidak segera dipenuhi akan menimbulnan dharar (bahaya). Misalnya pembiayaan jihad, terjadi bencana alam kebutuhan infrastruktur di daerah pelosok. Dharibah ini hanya akan dipungut kepada warga negara Islam yang muslimin. Sementara warga negara yang kafir dzimmi tidak akan dipungut.

Dalam kitab Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah hal 129 Syaikh Abdul Qadim Zallum mendefinisikan dharibah sebagai harta yang diwajibkan Allah swt kepada kaum muslim untuk membiayai kebutuhan dan pos yang diwajibkan kepada mereka dalam kondisi ketika tidak ada harta di Baitul Maal kaum muslim untuk membiayainya.

Sekalipun dharibah hanya dibebankan kepada kaum muslimin namun tidak semua kaum muslimin membayarnya. Dharibah hanya akan diambil dari kaum muslimin yang memiliki kelebihan harta setelah mereka dan keluarga mereka terpenuhi kebutuhannya.

Sehingga jelas kedudukan dharibah (pajak) dalam sistem ekonomi Islam sangat jauh berbeda dengan pajak dalam sistem ekonomi Kapitalisme. Dan jelas bahwa sistem keuanga Islam yang berbasis Baitul Maal yang mampu menyelamatkan keuangan Negara. Namun konsep Baitul Maal ini hanya akan bisa terwujud dan memberikan keberkahan bagi keuangan negara manakala ada Daulah Khilafah. Sebab hanya Daulah Khilafah-lah satu-satunya negara yang menerapkan hukum Islam secara sempurna termasuk sistem ekonomi Islam.

Wallahu a’lam bishowab

 

Home
Hot
Redaksi
Cari
Ke Atas