Rachma Berliana
Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung
Penyitaan dalam perkara perdata dirancang untuk menjamin agar putusan pengadilan dapat dilaksanakan. Permasalahan utama dalam penyitaan pada perkara perdata adalah bagaimana menyeimbangkan kepastian hukum dengan keadilan substantif. Di satu sisi, penyitaan harus mengikuti prosedur hukum yang pasti agar putusan dapat dilaksanakan dengan tertib. Namun di sisi lain, penerapan penyitaan yang terlalu formalistik sering kali menimbulkan ketidakadilan, terutama ketika objek sita adalah aset vital bagi kehidupan debitur atau keluarganya.
Akar permasalahannya terletak pada mekanisme penyitaan yang terlalu formalistik. Penyitaan diatur dalam Pasal 227 HIR / 261 RBg, KUHPerdata, serta yurisprudensi Mahkamah Agung. Secara konseptual, penyitaan dibagi menjadi dua yaitu Sita jaminan untuk mencegah agar harta tergugat tidak dialihkan selama proses persidangan berlangsung dan sita eksekusi untuk memastikan pelaksanaan putusan berkekuatan hukum tetap. Aturan formil mengharuskan penyitaan dilakukan melalui penetapan hakim, dibuatkan berita acara, dilaksanakan oleh juru sita, dan dicatat dalam administrasi pengadilan. Prinsip hukum yang mengikat antara lain adalah Asas kepastian hukum yaitu proses harus dapat diprediksi dan mengikuti aturan baku, Asas keadilan adalah pelaksanaan sita tidak boleh menimbulkan kerugian yang tidak sebanding dan Asas proporsionalitas yaitu objek sita harus relevan dengan nilai gugatan dan tidak menimbulkan dampak sosial yang berlebihan.
Penerapan penyitaan di Indonesia masih cenderung berpijak pada kepastian hukum prosedural, bukan keadilan substantif. Aturan yang kaku sering membuat aparat pengadilan lebih fokus memenuhi syarat administrasi, sementara nilai kemanusiaan kurang diperhatikan. Misalnya, penyitaan terhadap rumah satu-satunya debitur kecil secara hukum mungkin sah, tetapi dari sisi keadilan sosial, tindakan tersebut menimbulkan beban yang jauh lebih berat dibanding nilai sengketanya. Selain itu, praktik penyitaan juga menghadapi hambatan teknis: penundaan eksekusi, keberatan pihak ketiga (derden verzet), serta kerentanan terhadap penyalahgunaan wewenang. Faktor-faktor ini menurunkan kepercayaan publik dan mengganggu efektivitas penyitaan sebagai jaminan pelaksanaan putusan. Masalah lainnya adalah keterbatasan ruang diskresi bagi hakim. Hakim sering terikat oleh teks hukum, sehingga tidak selalu dapat mempertimbangkan kondisi sosial-ekonomi para pihak. Akibatnya, proses penyitaan memang tampak tertib secara formil, tetapi tidak selalu mencerminkan rasa keadilan substantif.
Dilema ini muncul karena desain hukum acara kita belum betul-betul memberi ruang bagi hakim untuk menyeimbangkan kedua asas tersebut. Sistem penyitaan seharusnya tidak hanya menekankan legalitas formal, tetapi juga mempertimbangkan apakah tindakan penyitaan benar-benar proporsional dan tidak menimbulkan dampak kemanusiaan yang tidak perlu. Selain itu, transparansi pelaksanaan sita serta pengawasan internal pengadilan perlu diperkuat agar penyitaan tidak disalahgunakan atau dipolitisasi.
penyitaan memang dapat menjamin kepastian hukum, tetapi belum sepenuhnya menghadirkan keadilan substantif dalam praktik. Untuk mencapai titik keseimbangan, diperlukan yaitu Perbaikan regulasi agar hakim diberikan ruang diskresi yang lebih luas dalam menilai proporsionalitas sita, Penguatan pengawasan agar pelaksanaan sita tidak disalahgunakan dan tetap transparan, Adaptasi sistem administrasi berbasis digital guna mencegah manipulasi dan mempercepat proses. Dengan pembaruan tersebut, penyitaan tidak hanya akan sah secara hukum, tetapi juga dapat dijalankan dengan mempertimbangkan nilai keadilan sosial yang menjadi tujuan utama peradilan perdata.




