Opini

    13.710 Penduduk Bangka Tengah Mengalami Kemiskinan: Apa Solusinya?

    ×

    13.710 Penduduk Bangka Tengah Mengalami Kemiskinan: Apa Solusinya?

    Sebarkan artikel ini
    Nurul Aryani

    Oleh: Nurul Aryani (Aktivis Dakwah Babel)

    Kepala BPS Bangka Tengah, mengatakan jumlah penduduk miskin tahun 2025 sebesar 13.710 orang. Angka ini mengalami kenaikan dibanding tahun 2024 yang sebesar 12.040 orang. Garis kemiskinan Kabupaten Bateng tahun 2025 berada pada angka Rp865.464,- per kapita per bulan, artinya jika penduduk yang mempunyai pengeluaran/konsumsi makanan dan bukan makanan di bawah Rp865.464/jiwa/bulan, maka penduduk tersebut termasuk dalam kategori penduduk miskin. Tidak hanya jumlah orang, indeks kedalaman kemiskinan maupun keparahan kemiskinan juga sama-sama mengalami peningkatan. Pemkab Bateng telah melakukan berbagai upaya dalam program penanggulangan kemiskinan sebelum tahun 2025, di antaranya program bantuan sosial beras kesejahteraan daerah (Rastrada). (Timelines Babel, 19/09/25)

    Sedangkan menurut standar kemiskinan Bank dunia, penduduk Indonesia yang pengeluarannya di bawah Rp49.244 per hari mencapai 68,2% dari total populasi yang pada 2024 sebanyak 285,1 juta orang. Itu artinya, 194,4 juta warga Indonesia masuk dalam kategori miskin. (BBC Indonesia, 18/06/25).

    Akar Masalah Kemiskinan

    Kemiskinan di Indonesia bukan lagi perkara baru. Bahkan serasa sudah jadi teman hidup. Rakyat berteman kemiskinan menunjukkan bahwa ini bukan kemiskinan musiman melainkan kemiskinan struktural, yakni kemiskinan yang dialami karena struktur sosial masyarakat yang tidak bisa ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka (Selo Soemardjan, 1980). Dengan demikian, sejatinya kemiskinan bukan karena sumber kekayaan tidak ada, melainkan karena mayoritas masyarakat tidak bisa mengaksesnya. Kita hidup di atas emas, minyak bumi, nikel, batu bara maupun timah yang berlimpah ruah, kekayaan negara yang luar biasa tapi hanya sekedar angka. Kita sebagai rakyat tidak benar-benar menikmati. Ini menunjukkan adanya tata kelola yang salah pada sumber daya alam di negeri ini.

    Misalnya Bangka Belitung memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar. Babel memiliki cadangan sumber daya timah mencapai 2.1 juta ton pada tahun 2021 dengan potensi bijih mencapai 6 miliar ton menjadikan Babel menyumbang angka 17 persen cadangan timah dunia. Angka ini jauh mengungguli China yang ada di angka 12 persen. Padahal Babel adalah pulau kecil yang sangat jauh luasnya dibanding daratan Tiongkok. Namun, kemana kekayaan tersebut? Kita berdiri di atas timah yang nilai impornya fantastis tapi justru didera kemiskinan.

    Pengelolaan sumber daya alam nyatanya memang belum berdampak pada kesejahteraan rakyat. Hal ini diakibatkan karena negeri ini menggunakan sistem ekonomi kapitalisme yang menjadikan para kapital (pemilik modal) bebas (liberal) mengeskplorasi sumber kekayaan alam. Berbagai kekayaan alam yang harusnya dikelola negara untuk kepentingan rakyat justru mayoritas menjadi lahan bisnis bagi pengusaha baik dalam maupun luar negeri. Akibatnya, rakyat hanya mendapat sisa-sisanya saja dan jadi sulit mendapat sumber kehidupan. Terlebih, negara yang harusnya menyediakan kesejahteraan justru menjadi regulator untuk para pengusaha menguasai kekayaan umum.

    Monopoli kekayaan oleh para pemilik modal bukan lagi hal tabu untuk dibahas. Berdasarkan data Credit Suisse, 10 persen orang terkaya Indonesia menguasai 75,3 persen total kekayaan secara nasional. Kemudian di bidang agraria, rasio gini lahan mencapai 0,58 menunjukkan kepemilikan lahan dikuasai segelintir individu dan korporasi skala besar. Artinya, kita bukan miskin, tapi dimiskinkan. Kita bukan tidak punya kekayaan, tapi kekayaan kita diraup oleh segelintir orang saja yang berkuasa. Ketimpangan sosial dan ekonomi ini adalah buah pahit diterapkannya ekonomi kapitalisme.

    Dengan demikian, akar masalah kemiskinan adalah penerapan sistem ekonomi sekuler yang melahirkan ekonomi liberal yakni kepemilikan umum justru dikuasai individu/swasta, tidak meratanya distribusi kekayaan, sulitnya mengakses lapangan kerja, gaji rendah dan kebutuhan yang tinggi telah menjadi penopang kemiskinan tetap eksis di negeri ini.

    Solusi Pragmatis Tidak Menyelesaikan Masalah Kemiskinan

    Benar bahwa berbagai solusi telah diupayakan oleh pemerintah. Namun, banyaknya solusi justru tidak menyentuh akar masalah. Sebab, solusi yang diberikan bukan solusi penanggulangan melainkan bantuan. Misalnya pemberian beras miskin, pemberian uang/dana bansos dan program sejenisnya hanya meringankan sedikit sekali beban bukan menghapus kemiskinan. Begitu juga program ketahanan pangan keluarga, memberi bantuan bibit ikan atau bibit tanaman juga tidak berdampak signifikan pada kehidupan penerima bantuan.

    Juga ada solusi meningkatkan skill, namun nyatanya banyak sekali orang punya skill/kemampuan justru hidup miskin. Sebab, masalahnya bukan ada pada individu semata melainkan sistematis dalam kehidupan. Sudah ada kemampuan tapi lapangan kerja sulit. Sudah dapat kerja eh gajinya kecil, kebutuhan tinggi, harus bayar kontrakan, bayar listrik, beli kebutuhan pokok, gaji habis dan menipis terkategorilah miskin sebab memang gaji/pendapatan tidak benar-benar mengcover kebutuhan hidup. Dengan demikian, berbagai solusi pragmatis diatas wajar saja tidak mampu menyelesaikan kemiskinan sebab tidak menyentuh akar masalah kemiskinan yang sudah dijabarkan sebelumnya.

    Solusi Kemiskinan dalam Sudut Pandang Islam

    Islam sebagai sebuah ideologi atau aturan hidup memiliki solusi yang khas. Solusi ini diambil dari dalil (Al-Qur’an dan Hadist) bukan dari akal manusia yang terbatas. Dalam kitab An-Nizhâm al-Iqtishâdi fî al-Islâm (Sistem Ekonomi Islam), Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani menegaskan bahwa Islam telah menetapkan aturan tegas mengenai kepemilikan, pengelolaan kekayaan dan peran negara dalam menjamin kesejahteraan rakyat. Beliau membagi kepemilikan menjadi tiga: milkiyyah fardhiyyah (kepemilikan individu), milkiyyah ‘âmmah (kepemilikan umum) dan milkiyyah ad-dawlah (kepemilikan negara). Konsep ini menutup celah privatisasi sumber daya strategis yang merupakan aset milik umum. Sumber daya alam seperti air, listrik, tambang dll adalah milik umum yang harus dikelola oleh negara secara langsung untuk kepentingan rakyat, bukan diserahkan kepada swasta/asing. Dasarnya, antara lain, sabda Rasulullah saw.: “Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: padang rumput, air dan api” (HR Abu Dawud, Ahmad dan Ibnu Majah).

    Dalam pandangan Islam, kesejahteraan tidak diukur dari total konsumsi nasional, melainkan dari pemenuhan hak-hak dasar setiap warga negara. Dengan pendekatan ini, solusi ekonomi Islam menjadi sangat relevan untuk menjawab tantangan ketimpangan dan menciptakan sistem yang lebih adil. Setiap warga negara benar-benar diperhatikan dan diteliti apakah kebutuhannya telah terpenuhi atau belum. Sebab, negara wajib menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar bagi setiap individu rakyat.

    Distribusi kekayaan juga harus sesuai dengan prinsip Islam. Dalam sistem ekonomi Islam, distribusi bukan sekadar efek samping dari pertumbuhan, tetapi tujuan yang melekat dalam setiap kebijakan ekonomi. Islam tegas melarang kekayaan hanya beredar di kalangan segelintir orang kaya saja. Dasarnya adalah firman Allah SWT yang artinya:

    “Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian”. (TQS al-Hasyr [59]: 7).

    Islam juga telah melarang segala upaya menumpuk (menimbun) harta. Sebaliknya, Islam mendorong agar setiap harta diputar melalui ragam muamalah dan investasi riil. Islam juga mendorong infak/sedekah, hibah dan wakaf serta mewajibkan zakat.

    Negara dalam sistem Islam juga memiliki peran penting dalam menjamin pemenuhan kebutuhan dasar setiap individu seperti sandang, papan, pangan, pendidikan dan kesehatan; bukan hanya menciptakan pertumbuhan secara agregat. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi menurut Islam bukan hanya soal angka, tetapi tentang keberkahan dan keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat. Sistem ekonomi Islam akan sangat kuat karena ditopang oleh Baitul Mal serta uang dinar dan dirham yang memiliki nilai intrinsik yang stabil. (Buletin Kaffah:411, 09/2025).

    Tentu saja sistem ekonomi Islam ini hanya dapat diwujudkan oleh negara yang menerapkan syariat Islam secara menyeluruh (kaffah). Contoh pengentasan kemiskinan pada masa kekhilafahan Islam terjadi pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz pada masa Daulah Umayah di bawah. Pada saat itu, rakyat sudah sampai pada taraf hidup ketika mereka tidak memerlukan bantuan harta lagi. Umar bin Abdul Aziz memerintahkan pegawainya untuk berseru setiap hari di kerumunan khalayak ramai, untuk mencukupi kebutuhannya masing-masing. “Wahai manusia! Adakah di antara kalian orang-orang yang miskin? Siapakah yang ingin kawin? Ke manakah anak-anak yatim?” Ternyata, tidak seorang pun datang memenuhi seruan tersebut. Setiap orang benar-benar sejahtera, bahkan sampai pada taraf tidak ada lagi yang mau menerima bantuan harta. MasyaAllah, sungguh kondisi yang tidak pernah dialami peradaban manapun kecuali peradaban Islam.

    Demikianlah gambaran Islam memberikan solusi atas pengentasan kemiskinan. Sudah selayaknya kita menyelesaikan setiap problem kehidupan berdasarkan syariat Islam. Melepas sistem ekonomi kapitalisme yang telah menyengsarakan dan menggantinya dengan sistem ekonomi Islam yang telah terbukti menyejahterakan. Wallahu’alambisawwab.  (*)

    Ikuti berita INTRIK.ID di Google News

      Home
      Hot
      Redaksi
      Cari
      Ke Atas