Scroll untuk baca artikel
Opini

Hanya Islam Solusi Kesehatan Lebih Baik Lagi

534
×

Hanya Islam Solusi Kesehatan Lebih Baik Lagi

Sebarkan artikel ini
IMG 20230801 WA0037 1
Bella Novianti.

Oleh : Bella Novianti A.Md (Guru TPA dan Aktivis Dakwah)

Walaupun mendapat penolakan dari berbagai pihak, DPR tetap ngotot ingin mengesahkan RUU kesehatan. Akhirnya, tepat selasa lalu tanggal 11 juli 2023 RUU kesehatan resmi disahkan DPR menjadi Undang undang.

Pimpinan komisi IX DPR RI Emanuel Melkiades Laka Lena mengatakan, RUU kesehatan bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia. RUU Kesehatan memberikan ruang ekosistem untuk pengembangan inovasi kesehatan, serta penguatan peran kesehatan, ungkapnya. (Situs Kemenkes, 11-7-2023).

Menurut Menteri Kesehatan, Pak Budi Gunadi Sadikin, dengan adanya UU Kesehatan ini, akses dan layanan kesehatan akan lebih baik lagi dari sebelumnya serta tenaga kesehatan akan menjadi cukup dan merata.

Benarkah seperti itu?

Carut marutnya layanan kesehatan saat ini, tidak lain dikarenakan sistem kapitalisme yang dianut negeri ini. Besarnya biaya kesehatan dan tidak meratanya fasilitas serta tenaga kesehatan dikarenakan pelayanan kesehatan sebagiannya diserahkan kepada pihak swasta, tidak sepenuhnya di tangani pemerintah. Tentu tidak ayal lagi kesehatanpun menjadi ladang bisnis untuk meraup keuntungan, sejalan dengan watak kapitalisme yang hanya mementingkan materi semata. Ditambah lagi dengan Pengesahan RUU Kesehatan Omnibus Law menjadi UU maka semakin menuju liberalisasi kesehatan.

Apabila menelisik ide-ide yang termaktub, baik dalam pasal-pasal RUU yang sekarang berstatus UU, maupun naskah akademiknya, keduanya hanya perangkat konsep politik kesehatan kapitalisme yang bermuatan ideologi kapitalisme sekularisme yang rusak dan merusak.

(dikutip dari tulisan Dr. Rini Syafri, muslimahnews.net) Setidaknya ada lima pemikiran sekularisme. Pertama, pandangan tentang kesehatan sebagai komoditas dan persoalan ekonomi. Pandangan ini berkonsekuensi pada keberadaan sejumlah pandangan batil yang berbahaya, seperti untung rugi finansial sebagai dasar pertimbangan kebijakan negara, bukan kesehatan itu sendiri. Hal ini terlihat antara lain dari devisa sebagai alasan izin pendirian rumah sakit asing dan dokter asing berpraktik. Di samping itu berkonsekuensi pada penegasian hak otonom dokter dan tenaga kesehatan disebabkan mereka hanyalah buruh dan pekerja bagi industri kesehatan.

Pandangan lain yang tidak kalah berbahaya adanya konsep penyelenggaraan dan akses pelayanan kesehatan dengan skema asuransi kesehatan wajib yang dinarasikan sebagai Universal Health Coverage (UHC) yang di Indonesia disebut Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Kedua, pandangan tentang fungsi negara. Sebagaimana konsep tata kelola kekuasaan sistem politik demokrasi, yakni good governance dan reinventing government, negara dan pemerintah adalah regulator dan korporasi sebagai operator. Pandangan ini dan konsep good governance secara keseluruhan menjadikan keberadaan rezim dan negara demokrasi sebagai pelayan kepentingan korporasi, bukan untuk kemaslahatan masyarakat.

Pada saat yang sama, urusan pemenuhan hajat hidup masyarakat, dalam hal ini kesehatan, dikuasai korporasi yang berorientasi profit. Artinya, ketika kewenangan IDI dan PDGI pindah ke Kemenkes, sesungguhnya pindah ke korporasi. Ini karena keberadaan negara, dalam hal ini Kemenkes, hanyalah sebagai pelayan korporasi.

Ketiga, model kekuasaan desentralisasi. Pemerintah menjadikan kewenangan kesehatan ada di tangan kementerian kesehatan.

Keempat, pandangan kebebasan berperilaku sehubungan dengan ide bahwa kesehatan adalah hak asasi manusia. Sementara itu, HAM adalah pandangan yang lahir dari ideologi sekularisme dengan kebebasan berperilaku sebagai salah satu wujudnya. Ini menjadi ciri masyarakat sekularisme karena makna kebahagiaan [menurut sekularisme] adalah meraih kenikmatan materi sebanyak-banyaknya. Di sisi lain, terbukti kebebasan berperilaku adalah faktor pemicu kerusakan kesehatan yang nyata.

Kelima, konsep anggaran berbasis kinerja, yakni sejumlah uang yang dialokasikan negara bukan untuk kepentingan perawatan kesehatan publik, tetapi demi bisnis kesehatan.

Oleh karenanya, tidak heran penetapan anggaran kesehatan minimal 5% pada UU Kesehatan harus dihapus dan merupakan tanggung jawab pemerintah daerah karena bisnis kesehatan secara praktis berada dalam kewenangan dan kekuasaan daerah.

Demikian pula, sejumlah ide kapitalisme termaktub dalam UU Kesehatan dan naskah akademik RUU Kesehatan. Pada gilirannya, ide-ide kapitalisme itu memasifkan industrialisasi sistem kesehatan yang merusak kesehatan insan serta menjadikan kehormatan dan kemuliaan dokter dan insan kesehatan di titik nadir.

Faktanya, belum dilegalkan saja, konsep-konsep kapitalisme itu dalam satu rangkaian UU yang tersistematis/omnibus law terbukti telah menimbulkan kerusakan kesehatan yang begitu hebat dan negeri sudah berada dalam jerat hegemoni kapitalisme global, khususnya di bidang kesehatan, apalagi sekarang.

Layanan Kesehatan, Paradigma Islam

Bandingkan dengan pandangan Islam, Islam memandang layanan kesehatan oleh negara bagi rakyat adalah kewajiban. Negara berkewajiban menjamin layanan kesehatan kepada seluruh rakyat, tanpa ada diskriminasi. Siapapun baik -muslim maupun nonmuslim- berhak mendapatkan layanan kesehatan secara gratis. Dalam hal ini, negara menjamin dan bertanggung jawab sepenuhnya dalam penyediaan fasilitas kesehatan yang memadai, dokter dan tenaga medis yang proporsional untuk memberikan layanan maksimal kesehatan. Negara juga membentuk badan-badan riset untuk mengidentifikasi berbagi macam penyakit beserta penangkalnya.

Jaminan kesehatan dalam Islam itu memiliki empat sifat. Pertama, universal, dalam arti tidak ada pengkelasan, dan pembedaan dalam memberikan layanan kepada rakyat. Kedua, bebas biaya alias gratis. Rakyat tidak boleh dikenai biaya untuk mendapat pelayanan kesehatan. Ketiga, seluruh rakyat dapat mengaksesnya dengan mudah. Keempat, pelayanan mengikuti kebutuhan medis, bukan dibatasi oleh plafon.

Paradigma ini bukan sekedar konsep, tapi sudah dilaksanakan oleh pemerintahan Islam beberapa abad yang lalu. Sebagai kepala negara, Nabi Muhammad SAW pernah menyediakan dokter gratis untuk mengobati ubay. Ketika Nabi mendapatkan hadiah dokter dari Muqauqis, Raja Mesir, beliau menjadikan dokter itu menjadi dokter umum bagi masyarakat. Begitu juga pada masa khalifah Umar bin al-khaththab ra. Menyediakan dokter gratis untuk mengobati Aslam.

Begitu juga pada masa keemasan Islam. Bani ibn Thulun di Mesir memiliki masjid yang dilengkapi dengan tempat-tempat mencuci tangan, tempat-tempat menyimpan minuman, obat-obatan dan dilengkapi dengan ahli pengobatan (dokter) untuk memberikan pengobatan gratis. Kahlifah Bani Abbasiyah banyak mendirikan rumah sakit di bagdad, kairo, Damaskus dan mempopulerkan rumah sakit keliling.

Negara melalui departemen terkait menyosialisasikan hidup sehat dan menciptakan lingkungan bersih dan asri serta membudayakan gaya hidup dengan cara membuat aturan-aturan yang menjamin kehalalan dan higienitas makanan dan minuman yang dikonsumsi masyarakat serta bersihnya lingkungan dari polusi. Ini juga bagian dari paradigm Islam untuk mencegah timbulnya penyakit (preventif).

Pelayanan kesehatan yang baik dan gratis didukung oleh sumber pendapatan negara yang banyak. Yang dipeoleh dari pengelolan seluruh sumber daya alam dan harta milik umum. Juga pendapatan dari sector lain. Seperti fai’, ghanimah, jizyah, ‘usyur, kharaj dan sebagainya.

Pandangan Islam ini benar-benar menjadikan ide kesehatan steril dari segala unsur bisnis dan ekonomi. Bahkan, ia adalah satu-satunya kebutuhan hidup yang berdimensi spiritual yang begitu kuat karena berkedudukan sebagai sebaik-baiknya nikmat sesudah nikmat iman dan akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah Swt. saat yaumul akhir. Pada saat yang sama, dokter dan insan kesehatan berada di puncak kebaikan dan kemuliaan.

Dalam Islam kekuasaan bersifat sentralisasi. Hal ini meniscayakan negara memiliki kewenangan yang memadai dan seimbang dengan tanggung jawabnya. Akibatnya, berbagai persoalan yang bersifat politik dapat diatasi secara cepat dan tepat.

Sungguh, hanya dengan Islamlah layanan kesehatan ini akan berubah menjadi lebih baik lagi. Karena itu sudah selayaknya kita hanya berharap pada Islam dan memperjuangkan kembali sitem Islam supaya tegak dimuka bumi ini dan Islam menjadi Rahmatan Lil Alamin. Wallahu’alam bishowab.(*)

Home
Hot
Redaksi
Cari
Ke Atas