Scroll untuk baca artikel
Bangka BelitungOpini

Tindakan Bunuh Diri Dalam Perspektif Kriminologi

877
×

Tindakan Bunuh Diri Dalam Perspektif Kriminologi

Sebarkan artikel ini
IMG 20240501 WA0099

Oleh:

Patricia Widya Sari, S.H., M.H..
Dosen Kriminologi Universitas Muhammadiyah Bangka Belitung

Beberapa waktu ini kita melihat fenomena kasus kejahatan terhadap orang lain, yang mana pelaku kejahatan tersebut melakukan tindakan bunuh diri setelah melakukan tindak kejahatan tersebut sebelum di proses dan diadili oleh pihak-phak terkait. Seperti kasus yang baru-baru ini terjadi di Pangkalpinnag tepatnya di Kelurahan Semabung Lama, Kecamatan Bukit Intan, seorang suami tega menganiaya istrinya hingga tewas. Namun setelah membunuh istrinya pelaku melakukan tindakan bunuh diri dengan cara meminum racun rumput.

Setelah membunuh istrinya pelaku juga sempat menyerang dan membacok anaknya dengan menggunakan sebilah parang. Setelah pelaku menyerang anaknnya, kemudian pelaku berjalan ke arah dapur dan sempat berbicara kepada anaknya untuk meminta maaf, lalu pelaku melaukan tindakan bunuh diri dengan menenggak racun rumput. Sementara pihak kepolisian menduga motifnya karena permasalahan keluarga, namun saat ini pihak kepolisian masih terus melakukan penyelidikan.

Tindakan bunuh diri setelah melakukan kejahatan dalam perspektif kriminologi dapat dipahami melalui berbagai faktor yang mempengaruhi perilaku kriminal dan mental seseorang antara lain, faktor kepribadian yang mana pelaku kejahatan memiliki gangguan kepribadian atau masalah mental lainnya yang mempengaruhi kemampuan mereka untuk menyesuaikan diri dengan norma sosial dan mengelola emosi mereka. Faktor tekanan sosial yang didapat dari lingkungan sosial atau hukukan yang dapat meningkatkan risiko bunuh diri.

Rasa bersalah, malu, atau takut akan konsekuensi hukum dapat memberikan tekanan tambahan pada individu yang telah melakukan kejahatan. Faktor penyesalan dan pengakuan oleh pelaku kejahatan yang mana mereka merasa sangat menyesal atas tindakan mereka dan tidak dapat mengatasi perasaan bersalah tersebut. Mereka menganggap bunuh diri sebagai cara untuk menghindari pertanggungjawaban atas tindakan mereka atau untuk mengakhiri penderitaan psikologis yang mereka alami. Faktor perasaan putus asa setelah melakukan kejahatan, pelaku mungkin merasa tidak ada jalan keluar dari situasi yang sulit yang akan dihadapi atau tidak ada nya harapan untuk masa depan yang lebih baik.

Perasaan putus asa ini juga dapat memicu pemikiran bunuh diri. Kemudian faktor situasi yang penuh dengan tekanan dari lingkungan, seperti tekanan ekonomi, konflik interpersonal, atau ketidakstabilan kehidupan yang dapat menyebabkan stres yang cukup besar bagi pelaku, yang kemudian dapat menjadi pemicu untuk tindakan bunuh diri setelah melakukan

Dalam kriminologi, ada beberapa teori yang dapat digunakan untuk memahami tindakan bunuh diri, termasuk ketika terjadi setelah melakukan kejahatan. Salah satu teori yang relevan adalah Strain Theory atau teori strain, yang dikemukakan oleh Robert K. Merton pada tahun 1938. Teori ini mengemukakan bahwa tekanan sosial yang dihasilkan dari ketidakseimbangan antara tujuan yang diinginkan dan cara untuk mencapainya dapat menyebabkan individu melakukan tindakan kriminal atau devian.

Teori Strain atau tekanan dalam konteks bunuh diri mengacu pada pandangan bahwa seseorang cenderung melakukan bunuh diri ketika mereka mengalami tekanan yang tidak bisa mereka atasi. Dalam teori ini, tekanan yang dapat menyebabkan perilaku bunuh diri terjadi ketika seseorang mengalami kesenjangan antara tujuan yang diinginkan dan sarana yang tersedia untuk mencapainya. Misalnya, seseorang mungkin memiliki impian atau

tujuan yang tidak dapat mereka capai karena faktor-faktor ekonomi atau sosial. Ketidakmampuan untuk mencapai tujuan ini dapat menyebabkan tekanan psikologis yang parah, yang mungkin mengarah pada pemikiran bunuh diri. Tekanan juga dapat terjadi ketika seseorang mengalami konflik atau tekanan dalam hubungan interpersonal atau sosial. Ini bisa termasuk konflik dalam keluarga, perselisihan dengan teman atau rekan kerja, atau pengalaman pelecehan dan intimidasi. Ketidakmampuan untuk mengatasi tekanan ini juga dapat meningkatkan risiko bunuh diri.

Tekanan lainnya juga dapat terjadi ketika seseorang mengalami konflik antara nilai-nilai, keyakinan, atau identitas mereka dengan norma-norma sosial atau tekanan dari lingkungan sekitarnya. Misalnya, seseorang yang merasa terpinggirkan atau tidak diterima oleh masyarakat karena orientasi seksual, agama, atau identitas etnis mereka mungkin mengalami tekanan nilai yang signifikan, yang dapat menyebabkan pemikiran bunuh diri.

Dalam konteks bunuh diri setelah melakukan kejahatan, teori Strain dapat diinterpretasikan sebagai tekanan psikologis yang dialami seseorang setelah kejahatan dilakukan. Mereka mungkin merasa terjebak antara tujuan yang diinginkan (misalnya, mencapai kekayaan, status atau keharmonisan dalam keluarga) dan sarana yang mereka miliki untuk mencapainya. Ketika seseorang merasa tidak mampu menangani tekanan ini, mereka mungkin mengalami perasaan putus asa dan melihat bunuh diri sebagai satu-satunya jalan keluar dari situasi yang sulit tersebut. Namun dalam konteks kejahatan, teori strain bisa juga berlaku.

Misalnya, seorang pelaku kejahatan yang mengalami penangkapan dan diproses hukum dapat mengalami tekanan struktural karena mereka tidak lagi memiliki sarana untuk mencapai tujuan kriminal mereka. Mereka juga mungkin mengalami tekanan interaksi karena tekanan dari lingkungan sosial mereka. Faktor ini juga bisa meningkatkan risiko bunuh diri dan mempengaruhi keputusan seseorang untuk mengakhiri hidup mereka.

Dalam konteks bunuh diri setelah melakukan kejahatan, teori Strain dapat diinterpretasikan sebagai tekanan psikologis yang dialami seseorang setelah kejahatan dilakukan. Mereka mungkin merasa terjebak antara tujuan yang diinginkan (misalnya, mencapai kekayaan, status atau keharmonisan dalam keluarga) dan sarana yang mereka miliki untuk mencapainya. Ketika seseorang merasa tidak mampu menangani tekanan ini, mereka mungkin mengalami perasaan putus asa dan melihat bunuh diri sebagai satu-satunya jalan keluar dari situasi yang sulit tersebut. Namun dalam konteks kejahatan, teori strain bisa juga berlaku.

Misalnya, seorang pelaku kejahatan yang mengalami penangkapan dan diproses hukum dapat mengalami tekanan struktural karena mereka tidak lagi memiliki sarana untuk mencapai tujuan kriminal mereka. Mereka juga mungkin mengalami tekanan interaksi karena tekanan dari lingkungan sosial mereka. Faktor ini juga bisa meningkatkan risiko bunuh diri dan mempengaruhi keputusan seseorang untuk mengakhiri hidup mereka.

Penting bagi sistem hukum dan penegakan hukum untuk memperhatikan risiko bunuh diri di antara para pelaku kejahatan dan menyediakan dukungan yang tepat untuk mencegah tragedi tersebut. Upaya pencegahan terhadap kejadian serupa yang dapat dilakukan oleh kita bersama mungkin salah satunya melibatkan dukungan psikologis, reintegrasi yang positif ke dalam masyarakat, dan pengurangan tekanan sosial dapat membantu mengurangi risiko bunuh diri pada seseorang yang terlibat dalam perilaku kejahatan.

Upaya rehabilitasi yang holistik juga penting untuk membantu seseorang yang terlibat dalam perilaku kriminal menemukan jalan menuju pemulihan dan reintegrasi yang positif dalam masyarakat. pemberian dukungan sosial, intervensi psikologis, dan penguatan resiliensi individu terhadap tekanan yang mereka hadapi juga pent

Home
Hot
Redaksi
Cari
Ke Atas