Scroll untuk baca artikel
Opini

Peran Lembaga Hukum Adat dalam Mengatasi Konflik Etnis di Bangka Belitung

420
×

Peran Lembaga Hukum Adat dalam Mengatasi Konflik Etnis di Bangka Belitung

Sebarkan artikel ini
20220304 104405
Dian Mayasari

Penulis: Dian Mayasari
Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung

Kepulauan Bangka Belitung merupakan salah satu provinsi termuda di Indonesia, terbentuk seiring berlakunya paket UU Otonomi daerah. Dalam sejarahnya, Bangka Belitung telah tiga kali mengajukan kepada pemerintah untuk menjadi provinsi sendiri, terlepas dari Provinsi Sumatera Selatan. Tetapi, permintaan itu baru dikabulkan pada 21 November 2001 dan Bangka Belitung pun menjadi provinsi ke-31. Jumlah penduduk kurang lebih satu juta jiwa. Beribukota Pangkalpinang, provinsi ini terdiri dari tiga Daerah Tingkati II, yaitu Kotamadya Pangkalpinang beribukota Pangkalpinang, Kabupaten Bangka beribukota Sungailiat, dan Kabupaten Belitung beribukota Tanjungpandan. Lebih dari 72% penduduk Babel hidup di sektor pertanian, peternakan, perkebunan, dan nelayan; 5,57% di sektor public (PNS, TNI dan Polri); 3,48 % di sektor perdagangan; dan 3,05% di sektor pertambangan.

Bangka Belitung merupakan sebuah daerah yang terdiri dari beragam suku bangsa, diantaranya terdapat suku Melayu, Jawa, Sunda, Batal, Tionghoa, Madura, China dan suku Bugis. Setelah kedatangan etnis Cina, beberapa pendatang lain mulai mencari penghidupan di Babel. Karena Babel terdiri atas gugusan pulau-pulau, maka orang-orang Bugis pun banyak berdatangan mencari penghidupan di wilayah ini. Hingga saat ini, beberapa daerah di Babel dikenal sebagai daerah tempat tinggal keturunan orang-orang Bugis dan Buton, seperti di Kampung Nelayan II di Sungailiat dan Desa Kurau di Koba. Mereka bermata pencaharian sebagai nelayan. Suku-suku tersebut pun memiliki ciri khas masing-masing, dan juga mempunyai ciri-ciri bahasa dan kultur tersendiri.

Konflik merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat, konflik dapat bersifat terbuka (manifest) dapat pula bersifat tertutup (latent). Konflik berlangsung sejalan dengan dinamika masyarakat. Hanya saja,terdapat katup-katup sosial yang bisa menangkal konflik secara dini, sehingga tidak berkembang meluas. Namun ada pula faktor-faktor di dalam masyarakat yang mudah menyulut konflik menjadi besar, sehingga memporakporandakan rumah, harta benda lain dan bisa jadi juga penghuni sistem sosial tersebut secara keseluruhan. Dalam suasana sistem sosial masyarakat Indonesia seperti di Bangka Belitung sendiri yang seiring berjalannya waktu semakin banyak pendatang dari suku-suku yang berbeda masuk ke wilayah ini sehingga rentan terhadap berbagai gejolak ini, sedikit pemicu saja sudah cukup menyebabakan berbagai konflik sosial.

Banyak kalangan yang memperdebatkan apakah orang Bangka itu termasuk orang Melayu. Orang Bangka dalam pengertian orang asli Bangka adalah beberapa suku bangsa asli ( indegenous people) yang pertama kali menempati beberapa wilayah di Bangka. Dalam hal ini suku-suku asli Bangka adalah orang Mapur dan orang Lum. Semua aktivitas sosial dan politik selalu dikaitkan dengan putra daerah: pejabat pemerintah, anggota dewan, sampai ke masalah kemungkinan dan penyebab konflik etnis di Bangka-Belitung. Walaupun dampak negative tidak terlalu besar imbasnya terhadap kehidupan masyarakat namun, harus diantisipasi dari sekarang seiring pertumbuhan pembangunan dan mulai mengalirnya para pendatang berbagai suku/etnik yang ada di Babel dengan berbagai kepentingan, gesekan akan muncul apabila lemahnya rasa toleransi dan pola hidup damai. Sumber konflik di Bangka Belitung berasal dari beberapa kelompok etnis yang ada, antara lain seperti Bangka-Palembang dan Bangka-Madura.

Salah satu Contoh Kasus yang pernah terjadi pada waktu lalu antara penduduk Bangka dan Palembang yaitu seorang warga palembang diduga telah membunuh seorang warga Jl. Kampung Opas Indah Pangkalpinang Babel, sedangkan seorang lain terluka parah. Kejadian yang ditengarai merupakan rentetan kejadian dari Pasar Trem itu juga merebakkan isu bahwa yang terbunuh bukan hanya satu, melainkan tiga orang. Peristiwa ini memicu niat aksi balas dendam antara kedua pihak.

Kemudian Kasus Konflik antara kelompok Bangka dan Madura yang pernah terjadi diawali dengan peristiwa di Desa Cit. Warga Desa Cit Kecamatan Belinyu hampir saja melakukan pengrusakan dan pengusiran terhadap warga pendatang lainnya yang bermukim di Desa Cit. Aksi pembakaran yang berkembang menjadi ancaman pengusiran setiap pendatang di Desa Cit itu, merupakan akibat dari adanya tiga warga pendatang (Madura) yang kedapatan sering melakukan pencurian, baik tanaman kebun maupun mesin TI milik warga. Karena kesal tidak berhasil meringkus ketiga tersangka itu, akhirnya warga mengancam mengusir seluruh pendatang jika dalam tempo tiga hari ketiga tersangka tidak diserahkan. Warga pendatang sebagian besar dari etnik Madura yang sudah puluhan tahun hidup bertetangga dengan warga Desa Cit akhirnya melaporkan ancaman itu kepada pihak berwajib. Pemerintah Kabupaten Bangka yang tidak menginginkan pertikaian meluas menjadi masalah SARA akhirnya mengutus tim yang dipimpin Asisten Pemerintahan dan Pembangunan Setda Bangka. Selanjutnya kedua belah pihak berjanji tidak bakal melakukan pengrusakan, bahkan pengusiran. Konflik di Dusun Air Sampik Desa Air Gegas Kabupaten Bangka Selatan antara etnik Melayu Lokal dengan etnik Jawa, Konflik etnik Selapan dengan etnik lokal Koba di Bangka Tengah. itulah beberapa konflik yang pernah terjadi di Bangka Belitung antar etnis.

Lalu Bagaimana dengan Respon Lembaga adat atas konflik etnis?

Tujuan lembaga adat pada Perda No.15/2000 mengenai pemberdayaan, pelestarian, dan pengembangan adat istiadat dan lembaga adat tidak secara khusus melampirkan tujuan lembaga adat. Bab III yang terdiri dari 3 pasal menyebutkan kedudukan, tugas, dan fungsi lembaga adat kelurahan dan kota. Tugas dan fungsi lembaga adat secara umum seperti tertuang dalam pasal 10 yaitu: “mengusahakan kelestarian, pembinaan, pengembangan, dan pemberdayaan adat istiadat, pelestarian dan pengembangan adat istiadat, mengusahakan pembinaan, pemberdayaan, menyelesaikan urusan adat istiadat, dan membantu pemerintah sepanjang menyangkut adat istiadat”. Dengan Adanya hukum adat, masyarakat tidak sebasing nek (semaunya sendiri) melakukan tindakan yang berhubungan dengan kemasyarakatan.

Konflik yang terjadi di Babel sampai saat ini masih merupakan konflik yang bersifat criminal biasa. Pemerintah setempat termasuk kepolisian dan anggota masyarakat menyadari sekali bahaya konflik SARA seperti yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Namun demikian, Babel merupakan sebuah daerah alternatif bagi para pendatang untuk mempertaruhkan hidup dan masa depan. Jumlah penduduk di Babel relatif masih sedikit, namun Babel memiliki sumberdaya alam yang besar dan kaya. Persaingan yang masih belum begitu ketat merupakan jaminan bagi para pendatang untuk mencari hidup baru di Babel.

Konflik antaretnis yang terjadi dapat diantisipasi lebih dini melalui penyebarluasan pengertian tentang pentingnya wawasan kebangsaan. Salah satu penyebab dari tidak berjalannya lembaga adat di Bangka, terutama dalam mengatasi pertikaian antaretnis ialah pemerintah daerah dan masyarakat beranggapan bahwa perselisihan antaretnis semata-mata persoalan hukum, bukan persoalan sosial dan politik. Karena itu, semua persoalan dilimpahkan ke aparat hukum. Padahal, banyak pasal dalam hukum positif yang tidak menjangkau dan menyelesaikan akar persoalan dalam masyarakat. Persoalan-persoalan kecil yang menyangkut hubungan kemasyarakatan terutama jika yang berselisih berbeda etnis seharusnya dapat diselesaikan melalui pendekatan secara kekeluargaan.

Bertolak dari pandangan di atas, masyarakat dan PEMDA harus melakukan tindakan dengan sosialisasi keberadaan lembaga adat melalui revitalisasi yang menyeluruh, hal ini bisa dimulai dengan cara menelaah kembali hukum-hukum adat yang pernah ada dan berlaku di Bangka, melakukan analisis terhadap contoh-contoh kasus yang pernah ada yang diselesaikan melalui lembaga adat, dan mengumpulkan, membicarakan, dan mengajak pihak-pihak yang berkepentingan untuk bersinergi (sebagai mitra) dalam menyertakan komponen masyarakat lembaga adat sebagai solusi alternatif dalam penyelesaian konflik etnis di Bangka.

Apabila lembaga adat tidak dihidupkan, maka adat budaya Bangka yang terkenal luwes dan orang-orang Bangka yang mudah bergaul akan terkontaminasi oleh adat dan budaya para pendatang. Diharapkan juga supaya para pendatang mampu membaur dengan adat istiadat dan tata cara hidup orang Bangka. Maka dengan itu, konflik etnis tak akan terjadi di Bangka, dan fungsi lembaga adat dapat dipertajam untuk menjaga dan memelihara adat istiadat di Bangka agar tidak punah.(*)